Merujuk
kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para
Nabi dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid. "Kami tidak mengutus
seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak
ada Tuhan selain
Aku, maka sembahlah Aku" (QS Al-Anbiya' [21]: 25).
"Wahai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tak
ada Tuhan bagimu selain-Nya."
Demikian
ucapan Nabi Nuh, Hud,
Shaleh dan Syu'aib
yang diabadikan Al-Quran masing-masing secara berurut dalam surat Al-A'raf (7): 59,
65, 73, dan 85.
Demikian
juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung
dari Allah:
"Aku yang
memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang diwahyukan (padamu):
'Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada
Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku,
dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'" (QS Thaha [20] 13-14)
Nabi
Isa a.s. juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya:
"Isa berkata
(kepada Bani Israil),
'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu.' Sesunguhnya siapa yang
mempersekutukan-Nya
maka Allah mengharamkan baginya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tiada
penolong bagi orang-orarg yang aniaya." (QS Al-Maidah [5]: 72)
Namun,
walaupun semua nabi membawa ajaran
tauhid, terlihat melalui ayat-ayat
Al-Quran bahwa ada
perbedaan dalam pemaparan mereka
tentang prinsip tauhid. Jelas sekali
bahwa Nabi Muhammad Saw.,
melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah dengan aneka
penjelasan dan bukti,
serta jawaban yang membungkam siapa pun yang
mempersekutukan Tuhan Allah Swt.
menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada para Nabi-Nya sesuai
dengan tingkat kedewasaan berpikir umat mereka.
Karena itu hampir tidak ada
bukti-bukti logis yang dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan pada akhirnya setelah mereka
tetap membangkang, jatuhlah
sanksi yang memusnahkan mereka:
"Maka topan
membinasakan mereka, dan
mereka adalah orang-orang
aniaya" (QS Al-'Ankabut [29]: 14).
Ketika tiba
masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalu jauh dari Nuh- pemaparan
beliau hampir tidak berbeda, tetapi di
sana sini telah
jelas bahwa masyarakat yang diajaknya berdialog, memiliki kemampuan
berpikir sedikit di atas umat Nuh. Karena
itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakan oleh Hud
a.s. disertai dengan
peringatan tentang nikmat-nikmat Allah
yang mereka dapatkan. Dalam
rangkaian ayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan Allah,
Hud mengingatkan:
"Ingatlah (nikmat
Allah) oleh kamu sekalian ketika Allah menjadikan kamu
sebagai pengganti-pengganti (yang
berkuasa)
sesudah lenyapnya
kaum Nuh; dan Tuhan melebihkan
kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada
kaum Nuh), maka
ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS Al-A'raf
[7]: 69,
dan juga dalam
QS Al-Syu'ara' [26]: 123-140)
Nabi
Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas dan rinci penjelasannya,
karena wawasan umatnya lebih luas pula. Mereka misalnya diingatkan tentang asal
kejadian mereka dari tanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud [11]:
61).
Akal
yang mampu mencerna dapat memahami bahwa asal
kejadian manusia berasal dari
tanah -dalam arti bahwa sperma
yang dituangkan ke rahim
istri berasal dari
makanan yang dihasilkan oleh bumi. Manusia yang memiliki akal yang
dapat mencerna ini atau walau
hanya memahaminya secara
umum, pastilah lebih mampu
dari mereka yang sekadar
dipaparkan kepadanya nikmat-nikmat Ilahi, sebagaimana halnya kaum
Hud dan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan Nabi Shaleh:
"Dan
kepada Tsamud (Kami mengutus)
saudara mereka Shaleh. Dia
berkata, 'Wahai kaumku
sembahlah Allah, sekali-kali tidak
ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah dating bukti yang
sangat nyata kepadamu;
unta betina Allah ini sebagai bukti untuk kamu ...'" (QS Al-A'raf
[7]: 73).
Ketika
tiba masa Syu'aib, ajakan dakwahnya lebih luas
lagi, melampaui batas yang disinggung oleh ketiga Nabi sebelumnya. Kali ini
ajaran tauhid tidak
saja dikaitkan dengan bukti-bukti, tetapi
juga dirangkaikan dengan hukum-hukum syariat. "Dan kepada
penduduk Madyan (Kami mengutus)
saudara mereka Syu'aib. Ia
berkata, 'Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu
bukti yang nyata dan Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan
timbangan, dan janganlah
kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di bumi sesudah
Tuhan memperbaikinya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu
benar-benar orang yang
beriman.'" (QS Al-A'raf [7]:
85).
Ayat ini
bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka untuk membangun satu
masyarakat yang penuh dengan
kemakmuran dan keadilan. Setelah itu,
datang ajakan Nabi
Ibrahim, yang merupakan periode baru dari tuntunan tentang Ketuhanan
Yang Maha Esa. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Para
Nabi," "Bapak Monoteisme,"
serta "Proklamator Keadilan
Ilahi" karena agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada
agama beliau. Ibrahim a.s.
menemukan dan membina
keyakinannya melalui pencarian dan
pengalaman-pengalaman
keruhanian yang dilaluinya dan
hal ini -secara Qurani- terbukti
bukan saja dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru
sekalian alam, sebagaimana diuraikan dalam surat Al-An'am ayat 75,
tetapi juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. Menarik untuk diketahui
bahwa beliaulah satu-satunya Nabi
yang disebut Al-Quran bermohon
kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan yang mati, dan
permintaan beliau itu dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260)
"Sembahlah
Allah, kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya," tetapi dinyatakannya, "Sembahlah Allah
dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih
baik untukmu kalau
kamu mengetahuinya" (QS Al-'Ankabut [29]: 16)
Dan dinyatakannya
bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan seru sekalian
alam, bukan Tuhan
suku, bangsa dan
jenis makhluk tertentu saja. "Sesungguhnya aku
menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi
dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan
aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan" (QS Al-'An'am [6]: 79).
"Dia
(Ibrahim) berkata (kepada kaumnya),
'Sebenarnya Tuhan kamu adalah
Tuhan seluruh langit
dan bumi yang
telah menciptakannya, dan
aku termasuk orang-orang
yang dapat memberikan bukti atas yang
demikian itu" (QS Al-Anbiya,
[21]: 56).
Terlihat
juga dari Al-Quran bagaimana beliau
"berdiskusi" dengan
umatnya dalam rangka membuktikan kesesatan mereka, dan
menunjukkan kebenaran akidah tauhid (antara
lain surat Al-Anbiya, [21]: 51-67). Demikianlah tahap
baru dalam uraian tauhid, dan karena itu -seperti ditulis
oleh Abdul-Karim Al-Khatib
dalam buku karyanya, Qadhiyat
Al-Uluhiyyah baina Al-Falsafah wa Ad-Din- sejak Nabi Ibrahim, sampai dengan
nabi-nabi sesudahnya tidak dikenal
lagi pemusnahan total
bagi umat satu
Nabi sebagaimana yang terjadi terhadap umat-umat sebelumnya. Pemaparan
tauhid pun dari hari ke hari
semakin mantap dan jelas
hingga mencapai puncaknya
dengan kehadiran Nabi Muhammad Saw.
Uraian
Al-Quran tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad Saw. dimulai dengan
pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya. Ini terlihat secara jelas
ketika wahyu pertama turun. "Bacalah demi Tuhan-Mu yang menciptakan
(segala sesuatu). Dia telah
menciptakan manusia dari
'alaq. Bacalah dan Tuhan-mulah yang (bersifat)
Maha Pemurah, yang
mengajar manusia dengan qalam,
mengajar manusia apa
yang tidak diketahui(-nya)"
(QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
Dalam rangkaian
wahyu-wahyu pertama. Al-Quran
menunjuk kepada kepadaTuhan Yang Maha Esa dengan kata Rabbuka (Tuhan) Pemeliharamu
(Wahai Muhammad), bukan kata "Allah."1 Hal ini untuk menggarisbawahi
Wujud Tuhan Yang
Maha Esa, yang dapat dibuktikan
melalui ciptaan atau perbuatan-Nya. Dari
satu sisi memang
dikenal satu ungkapan
yang oleh sementara pakar dinilai sebagai hadis Qudsi yang berbunyi:
"Aku
adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar
mereka mengenal-Ku."
Di sisi
lain, tidak digunakannya
kata "Allah" pada wahyu-wahyu pertama itu,
adalah dalam rangka
meluruskan keyakinan kaum
musyrik, karena mereka juga menggunakan kata "Allah" untuk menunjuk
kepada Tuhan, namun keyakinan mereka tentang Allah
berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh Islam. Mereka misalnya
beranggapan bahwa ada
hubungan antara "Allah" dan
jin (QS Al-Shaffat [37]: 158), dan bahwa Allah memiliki anak-anak
wanita (QS Al-Isra'
[17]: 40), serta manusia
tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah, karena Dia demikian
tinggi dan suci, sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu
disembah sebagai perantara-perantara
antara mereka dengan Allah (QS Al-Zumar [39]:
3)
Dan kekeliruan-kekeliruan itu,
maka Al-Quran melakukan pelurusan-pelurusan yang
dipaparkannya dengan berbagai gaya bahasa, cara dan bukti. Sekali dengan pernyataan
tegas yang didahului dengan sumpah, misalnya:
"Demi
(rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya, dan demi
(rombongan) yang melarang
(perbuatan durhaka) dengan
sebenar-benamya, dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar Esa,
Tuhan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya,
dan Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari" (QS Al-Shaffat [37]: 1-5).
Dalam
ayat lain diajukan pertanyaan yang mengandung kecaman, "Manakah yang baik,
tuhan-tuhan yang banyak bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha
Esa lagi Mahaperkasa?" (QS Yusuf [12]: 39).
Kemudian Al-Quran
juga menggunakan gaya perumpamaan, seperti:
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang
membuat rumah. Sesungguhnya rumah
yang paling rapuh adalah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui" (QS
Al-'Ankabut [29]: 41).
Ayat ini
memberi perumpamaan mengenai
orang-orang yang meminta perlindungan
kepada selain Allah, sebagai serangga yang berlindung ke sarang
laba-laba. Serangga itu tentu akan terjerat
menjadi mangsa laba-laba, dan
bukannya terlindung olehnya. Bahkan jangankan serangga yang berlainan jenisnya, yang satu
jenis pun seperti
jantan laba-laba, berusaha diterkam oleh
laba-laba betina begitu
mereka selesai berhubungan seks.
Kemudian telur-telur laba-laba yang baru saja menetas, saling
tindih-menindih sehingga yang menjadi korban adalah yang tertindih. Dalam kesempatan lain, Al-Quran memaparkan
kisah-kisah yang bertujuan menegakkan
tauhid, seperti kisah
Nabi Ibrahim ketika memorak-porandakan berhala-berhala kaumnya
(QS Al-Anbiya' [21]: 51-71)
Sumber : http://media.isnet.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar