Alhamdulillah, akhirnya kita berada di dalam bulan suci Ramadhan.
Bersukurlah kita dapat menikmati bulan yang penuh berkah dan magfiroh,
dimana setiap amalan kita akan dilipat gandakan oleh Allah. Sahabat
blogger, bulan Ramadhan merupakan bulan dimana kita berlomba-lomba
untuk meningkatkan amal dan ibadah kita kepada Allah, sehingga kita
nantinya akan mendapatkan gelar orang yang bertaqwa . Pada postingan
saya sebelumnya mengenai Keutamaan Ramadhan dan keutamaan beramal
didalamnya, maka kali ini kita perlu juga mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan puasa Ramadhan.
Postingan kali ini akan membahas beberapa permasalahan yang oleh
sebagian kita dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak
demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar
diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit
Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Hal-hal yang dianggap membatalkan puasa
1.Orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa,
dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu
pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang
menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu
fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin setelah
menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan
pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya
kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam
keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).”
Kemudian beliau membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang
menjelaskan bahwa Allah telah mengabulkan doa yang tersebut dalam
firman-Nya: “Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286).
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin adalah apabila orang
tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu,
wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai
karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah
mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang
terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz di dalam
Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja)
tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits;
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada
kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang
muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan
oleh As-Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa’ no. 930). Oleh karena itu,
orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak
berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena
hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan
muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka
biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak
membatalkan puasa.
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz :
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau
karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah
membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena
dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia
tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula
orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan
darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan
dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal
tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu
mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan)
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa,
karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya
dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi
sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau
telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat
tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah
mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut
dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa
keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan.
Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah
membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke
kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar
dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa
apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya
madzi. Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya.
“Dahulu Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya.
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian.
Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka
tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan
baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan.
Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam
tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan
memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air
yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau
terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa,
dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas dalam sebuah atsar: “Tidak
apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan
membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani di Al-Irwa no.
937).
Demikian beberapa hal ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang
paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah
tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat
Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan
puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya
kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar