Buang hajat merupakan rutinitas alamiah yang dilakukan oleh semua manusia.
Alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana agama memberikan bimbingan dalam masalah ini sehingga perbuatan yang bisa jadi dipandang ringan oleh banyak orang ini, dalam beberapa sisinya bisa memiliki nilai ibadah di sisi Allah l.
Membuang hajat adalah perkara yang biasa kita lakukan setiap harinya. Namun sangat disayangkan banyak di antara kita yang tidak mengetahui adab-adab yang dituntunkan di dalamnya.
Padahal syariat agama kita yang sempurna telah mengajarkan permasalahan ini. Pernah kaum musyrikin berkata kepada Salman al-Farisi z,
“Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampaipun perkara adab buang hajat.” Salman menjawab, “Ya, beliau mengajarkan kami adab buang hajat.”
(HR. Muslim no. 262)
Alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana agama memberikan bimbingan dalam masalah ini sehingga perbuatan yang bisa jadi dipandang ringan oleh banyak orang ini, dalam beberapa sisinya bisa memiliki nilai ibadah di sisi Allah l.
Membuang hajat adalah perkara yang biasa kita lakukan setiap harinya. Namun sangat disayangkan banyak di antara kita yang tidak mengetahui adab-adab yang dituntunkan di dalamnya.
Padahal syariat agama kita yang sempurna telah mengajarkan permasalahan ini. Pernah kaum musyrikin berkata kepada Salman al-Farisi z,
“Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampaipun perkara adab buang hajat.” Salman menjawab, “Ya, beliau mengajarkan kami adab buang hajat.”
(HR. Muslim no. 262)
Doa Sebelum Buang Hajat
Perkara awal yang perlu
diperhatikan dari Sunnah Rasulullah n dalam masalah ini adalah ketika
seseorang akan masuk ke tempat buang hajat (WC, toilet, dan semisalnya)
hendaknya ia mengucapkan doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”
(HR. al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375)
Karena WC, toilet, dan
semisalnya merupakan tempat kotor yang dihuni oleh setan maka
sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah l agar ia
tidak ditimpa oleh kejelekan makhluk tersebut.
(asy-Syarhul Mumti’, 1/83)
Membaca doa ini merupakan adab
yang disepakati istihbab (sunnah)-nya, dan tidak ada perbedaan dalam
hal ini antara buang hajat di tempat yang berupa bangunan ataupun di
padang pasir.
(Syarah Shahih Muslim, 4/71)
Sementara itu, apabila di
padang pasir (tempat yang terbuka), maka doa ini dibaca tatkala hendak
ditunaikannya hajat, seperti ketika seseorang menyingkap pakaiannya.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Mereka juga mengatakan, kalau
seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati.
(Fathul Bari, 1/307)
Langkah Kaki Ketika Masuk dan Keluar WC
Telah diketahui bahwasanya Rasulullah n menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau.
(HR. al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Hadits di atas menunjukkan
keumuman. Namun khusus pada keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan
yang kiri, seperti apabila beliau masuk WC, keluar dari masjid, dan
yang semisalnya. Demikian dinyatakan Ibnu Daqiqil ‘Ied.
(Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)
Al-Imam an-Nawawi t berkata,
“Merupakan
kaidah yang berkesinambungan dalam syariat di mana tangan/kaki kanan
didahulukan dalam melakukan perkara yang mulia, seperti memakai
pakaian, celana, dan sandal; masuk masjid, bersiwak, bercelak,
menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir rambut, mencabut bulu
ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai shalat, mencuci anggota
wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, menyentuh hajar
aswad, serta selainnya dari perkara yang semisal di atas. Semua itu
disenangi untuk memulai dengan bagian kanan. Adapun lawan dari perkara
di atas, seperti masuk WC, keluar dari masjid, istinja’, melepas
pakaian, celana, sandal, dan yang semisalnya, disenangi untuk memulai
dengan tangan/kaki kiri.”
(Syarah Shahih Muslim, 3/160, al-Majmu’, 2/95)
Menutup Diri
Abdullah bin Ja‘far z berkata,
“Suatu
hari Rasulullah n pernah memboncengkan aku di belakangnya. Lalu beliau
membisikkan kepadaku satu pembicaraan yang aku tidak akan
memberitahukannya kepada seorang pun selama-lamanya. Adalah beliau n
menyenangi menjadikan tempat yang tinggi (berupa bangunan atau
selainnya) dan kebun kurma sebagai tempat berlindung (menutup diri)
ketika buang hajat.”
(HR. Muslim no. 342)
Al-Imam asy-Syaukani t berkata,
“Hadits
ini menunjukkan disenanginya menutup diri ketika seseorang sedang buang
hajat dengan apa saja yang dapat mencegah/menghalangi pandangan orang
terhadapnya ketika itu. Dimungkinkan buang hajat beliau di kebun kurma
bukan pada saat kurma itu berbuah.”
(Nailul Authar, 1/117)
Beliau n apabila hendak buang
hajat, tidaklah mengangkat pakaiannya sampai beliau turun untuk jongkok
di atas tanah. Hal ini beliau lakukan untuk menjaga aurat.
(Zadul Ma’ad, 1/44, ad-Dararil Mudhiyyah hlm. 23)
Menjauh dari Pandangan Manusia
Ibnul Mundzir t berkata,
“Kabar
yang pasti dari Rasulullah n bahwasanya bila ingin buang hajat beliau
pergi ke tempat yang jauh dari penglihatan manusia. Namun bila sekadar
buang air kecil beliau tidak menjauh dari mereka.”
(al-Ausath, 1/321)
Hal ini sebagaimana Rasulullah n pergi untuk membuang hajat hingga tersembunyi dari para sahabatnya.
(HR. al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 dari al-Mughirah ibnu Syu’bah z)
Abdurrahman bin Abi Qurad z berkata,
“Aku
pernah keluar bersama Rasulullah n ke tempat buang hajat. Kebiasaan
beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia.”
(HR. an-Nasa’i no. 16 dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Sahih, 1/495)
Saking menjauhnya beliau dari
manusia sampai-sampai beliau pergi ke Mughammas (sebuah tempat yang
jauhnya sekitar dua mil dari kota Makkah) untuk keperluan buang hajat
ini.
(HR. Abu Ya’la, 9/476 dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Sahih, 1/495)
Ibnul Qayyim t mengatakan,
“Beliau
n apabila ingin buang hajat dalam safarnya pergi hingga tersembunyi
dari pandangan para sahabatnya. Terkadang beliau menjauh sampai dua
mil. Beliau menutup dirinya ketika buang hajat, terkadang dengan
berlindung di balik tempat tinggi, terkadang di balik kebun kurma, dan
terkadang dengan pepohonan yang tumbuh di lembah.”
(Zadul Ma’ad, 1/43)
Berbeda halnya ketika buang air kecil, sebagaimana dikatakan Ibnul Mundzir di atas, beliau tidak menjauh dari manusia.
Bahkan Hudzaifah z mengatakan,
“Aku
pernah berjalan-jalan bersama Nabi n. Beliau lalu mendatangi tempat
pembuangan sampah yang terletak di belakang tembok. Beliau berdiri di
situ sebagaimana salah seorang dari kalian berdiri lalu beliau buang
air kecil. Aku pun menyingkir dari beliau, namun beliau memberi isyarat
kepadaku maka aku pun mendatanginya. Aku berdiri di belakang beliau
hingga beliau selesai dari hajatnya.”
(HR. al-Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata,
“Ini menunjukkan beliau tidak menjauh dari Hudzaifah ketika buang air kecil.”
Adapun sebab tidak menjauhnya Nabi n ketika buang air kecil dijelaskan oleh Al-Hafizh,
“Kencing
lebih ringan daripada buang air besar, karena buang air besar butuh
untuk lebih membuka aurat dan bau yang ditimbulkan lebih menyengat.
Sementara tujuan menjauh dari manusia adalah untuk menutup diri dari
penglihatan mereka, dan ini terpenuhi dengan membentangkan pakaian
serta mendekat dengan sesuatu yang dapat menutupi.”
(Fathul Bari, 1/411)
Rasulullah n meminta Hudzaifah
untuk mendekat kepada beliau agar Hudzaifah menutupi beliau dari
pandangan manusia, karena buang air kecil merupakan keadaan yang
memalukan bila terlihat oleh orang lain.
(Syarah Shahih Muslim, 3/167)
Dengan demikian, dituntunkan
kepada kita untuk menjauh dari manusia ketika buang air besar.
Sementara ketika buang air kecil boleh dilakukan di dekat orang lain,
namun harus tetap memerhatikan tertutupnya aurat agar tidak terlihat
orang lain.
(al-Jami’ush Sahih, 1/496)
Tidak Memasukkan ke WC Sesuatu yang Mengandung Dzikrullah
Seseorang yang buang hajat
lebih utama baginya untuk tidak membawa sesuatu yang padanya tertera
zikir kepada Allah l seperti Al-Qur’an dan lainnya, yang di dalamnya
ada penyebutan nama Allah l.
Dalam
permasalahan ini, dalil yang sering dibawakan adalah hadits peletakan
cincin Rasulullah n ketika akan masuk WC. Namun hadits ini lemah,
ma’lul (berpenyakit) sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim t dalam
Tahdzibus Sunan serta ulama ahli hadits yang lainnya.
Ketika membawakan hadits ini, al-Imam ash-Shan’ani t mengatakan dalam Subulus Salam (1/113),
“Sesuatu
yang di dalamnya tertera nama Allah k harus dijaga dari tempat-tempat
yang jelek/kotor. Ini tidak khusus berupa cincin saja, namun meliputi
seluruh benda yang dipakai yang padanya ada dzikrullah.”
Walaupun demikian sebagian
ulama yang lain menganggap makruh (dibencinya) perkara ini, bahkan
haram apabila yang dimasukkan itu berupa Al-Qur’an, karena termasuk
penghinaan. Penulis kitab al-Furu’ mengatakan, “Dibenci untuk membawa
sesuatu yang mengandung dzikrullah tanpa ada keperluan.”
(al-Furu’, 1/83)
Larangan Menghadap dan Membelakangi Kiblat
Abu Ayyub al-Anshari z berkata, Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوْهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Apabila kalian mendatangi
tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat ketika
buang air besar ataupun kencing, serta jangan pula membelakangi kiblat.
Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat1.”
(HR. al-Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)
Dari hadits di atas dipahami adanya larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat. Namun dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Ada yang berpendapat perbuatan ini haram secara mutlak, baik di WC
(tempat yang tertutup/berbentuk bangunan) maupun di tempat terbuka. Ada
yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang merinci.
Perselisihan
ini terjadi karena selain hadits larangan sebagaimana tercantum di
atas, didapatkan pula hadits lain yang menunjukkan kebolehannya seperti
hadits Abdullah ibnu Umar c, ia berkata,
“Aku
pernah menaiki rumah Hafshah2 karena suatu keperluan. Ketika itu aku
melihat Rasulullah n buang hajat menghadap ke arah Syam dan
membelakangi Ka’bah.”
(HR. al-Bukhari no. 148 dan Muslim no. 266)
Demikian pula hadits Jabir bin Abdillah al-Anshari c,
“Sungguh
beliau n melarang kami untuk membelakangi dan menghadap kiblat dengan
kemaluan-kemaluan kami apabila kami buang air. Kemudian aku melihat
beliau kencing menghadap kiblat setahun sebelum meninggalnya.”
(HR. Ahmad 3/365 dan dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Sahih, 1/493)
Dari perselisihan yang ada,
yang rajih (kuat) adalah pendapat yang merinci. Bila di luar bangunan
seperti di padang pasir, haram untuk menghadap atau membelakangi
kiblat. Sementara di dalam bangunan tidaklah diharamkan. Ini adalah
pendapat al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan asy-Sya’bi, dan
ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu.
(Syarah Shahih Muslim 3/154, Syarah Sunan an-Nasa’i lis Suyuthi 1/26)
Namun sepantasnya bagi
seseorang untuk menghindari arah kiblat ketika buang hajat di dalam
bangunan (WC dan semisalnya), dalam rangka berhati-hati dari
hadits-hadits yang menunjukkan larangan akan hal ini. Juga karena
adanya perselisihan yang kuat dalam permasalahan ini yang didukung oleh
para ulama ahli tahqiq (peneliti).
(Taisirul ‘Allam, 1/55)
Boleh Kencing Berdiri
Al-Imam al-Bukhari t ketika
membawakan hadits Hudzaifah z yang menerangkan Rasulullah n kencing
berdiri sebagaimana telah lewat di atas, beliau mengatakan dengan judul
bab (Bolehnya) Kencing Berdiri dan Jongkok. Sehingga dipahami di sini bolehnya kencing dalam keadaan berdiri dan duduk, walaupun dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu.
Didapatkan pula dari perbuatan
sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Umar ibnul Khaththab, Zaid bin
Tsabit, dan selainnya g, mereka kencing dengan berdiri. Ini menunjukkan
perbuatan ini dibolehkan dan tidak makruh apabila memang aman dari
percikan air kencing.
(‘Aunul Ma’bud, 1/29)
Ibnul Mundzir t berkata,
“Sebagian
ahlul ilmi menyenangi bagi orang yang kencing dalam keadaan duduk untuk
menjauh dari manusia. Mereka juga memandang tidak apa-apa kencing di
dekat orang lain bila dilakukan dengan berdiri. Karena kencing dalam
keadaan berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari percikan
najis. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari ‘Umar.”
(al-Ausath, 1/322)
Berhati-Hati dari Percikan Najis
Rasulullah n pernah melewati dua kuburan dan mengabarkan:
إِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ. ثُمَّ قَالَ: بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Dua penghuni kuburan ini
sedang diazab. Tidaklah mereka diazab karena perkara yang besar.”
Kemudian Rasulullah mengatakan, “Bahkan ya. Adapun salah satunya, ia
diazab karena tidak berhati-hati/ tidak menjaga dirinya dari kencing….”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292, dengan lafadz al-Bukhari)
Ibnu Daqiqil ‘Ied t mengatakan,
“Kedua
penghuni kuburan itu tidaklah diazab karena perkara yang sulit untuk
menghilangkannya atau mencegahnya, serta berhati-hati darinya. Yakni
perkara itu sebenarnya mudah, gampang bagi orang yang (mau) menjaga
diri darinya.” Beliau juga berkata, “Dua perkara ini termasuk dosa
besar.”
(Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/62)
Tidak berhati-hati dari
kencing sehingga menajisi tubuh merupakan penyebab azab kubur
sebagaimana diberitakan Nabi n dalam hadits di atas, padahal mungkin
perkara ini dianggap sepele oleh kebanyakan orang.
Rasulullah n mencontohkan
dengan merenggangkan/menjauhkan kedua kaki ketika duduk untuk buang
hajat guna menghindari percikan air kencing.
Al-Hasan z berkata,
“Telah
menceritakan kepadaku orang yang melihat Nabi n, beliau kencing dalam
keadaan jongkok dengan merenggangkan kedua kaki beliau
selebar-lebarnya, sehingga kami mengira pangkal paha beliau akan
terlepas.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah, 1/121 dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Sahih, 1/500)
Tidak Berbicara
Tidak sepantasnya seseorang
berbicara dengan jenis pembicaraan apa pun ketika sedang buang hajat
kecuali bila memang terpaksa, sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha.
Keadaan
terpaksa itu seperti ia melihat seorang buta berjalan menuju sumur dan
dikhawatirkan akan terperosok ke dalamnya, ada orang yang mengajaknya
bicara dan mau tidak mau harus menjawabnya, ia punya keperluan kepada
seseorang dan khawatir orang itu akan berlalu, ia meminta air, atau ada
binatang berbisa yang hendak menggigit seseorang sementara orang itu
tidak melihatnya dan semisalnya. Dalam keadaan seperti ini dibolehkan
berbicara.
(al-Majmu’, 2/107, asy-Syarhul Mumti’, 1/95)
Termasuk pembicaraan yang
dilarang di sini adalah menjawab salam dan ucapan zikir lainnya.
Al-Baghawi t berkata dalam Syarhus Sunnah,
“Bila seseorang bersin dalam keadaan ia sedang buang hajat maka ia mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) di dalam hati.”
Demikian
pula yang dikatakan oleh al-Hasan, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan Ibnul
Mubarak. Larangan berzikir di sini merupakan larangan makruh menurut
kesepakatan yang ada.
Ibnul
Mundzir menghikayatkan makruhnya hal ini dari Ibnu Abbas, ‘Atha,
Ikrimah, an-Nakha’i, dan Ibnu Sirin. Ibnul Mundzir juga mengatakan,
“Meninggalkan zikir ketika buang hajat lebih aku sukai, namun aku tidak menganggap berdosa orang yang melakukannya.”
(al-Majmu’, 2/108, al-Furu’, 1/84)
Larangan Istinja’ dengan Tangan Kanan
Rasulullah n melarang kita
untuk menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing dan ketika
istinja’ (cebok), sebagaimana sabdanya:
لاَ يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلاَءِ بِيَمِينِهِ
“Jangan sekali-kali salah
seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika
sedang kencing dan jangan pula cebok dengannya setelah buang hajat.”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 154 dan Muslim no. 267)
Al-Imam An-Nawawi t berkata,
“Larangan
istinja’ dengan tangan kanan termasuk salah satu adab dalam istinja’.
Ulama sepakat tentang dilarangnya perkara ini. Jumhur ulama berpendapat
larangan di sini menunjukkan makruhnya bukan haram.” Kemudian beliau
berkata, “Memegang kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh.”
(Syarah Shahih Muslim, 3/156, 159)
Larangan Bersuci dengan Tulang dan Kotoran Hewan yang Telah Mengering/Membatu (Rautsah)
Nabi n pernah meminta kepada Abu Hurairah z untuk mencari batu guna keperluan bersuci beliau. Beliau n bersabda:
وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ
“Jangan engkau datangkan untukku tulang dan jangan pula rautsah.”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 155)
Di waktu yang lain, Abdullah
bin Mas’ud z pernah diminta Rasulullah n mencari tiga batu untuk
bersuci. Namun ia hanya mendapatkan dua batu, sehingga ia mengambil
rautsah lalu diserahkannya kepada Nabi n. Beliau lalu mengambil dua
batu tersebut dan membuang rautsah, seraya berkata, “Ini adalah
kotoran.”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 156)
Ibnu Qudamah t berkata,
“Tidak
boleh bersuci dengan menggunakan rauts ataupun tulang. Bersuci dengan
keduanya tidaklah mencukupi, demikian pendapat mayoritas ahli ilmu. Ini
juga pendapat ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan Ishaq.”
(al-Mughni, 1/104)
Doa Keluar dari Tempat Buang Hajat
غُفْرَانَكَ
“Aku memohon pengampunan-Mu.”
(HR.
at-Tirmidzi no. 8, Abu Dawud no. 28, Ibnu Majah no. 296, dan disahihkan
oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil no. 52)
Doa di atas diucapkan ketika seseorang keluar dari tempat buang hajat.
Kesesuaian doa ini dengan keadaan tersebut adalah setelah seseorang
diringankan dan dilindungi dari gangguan fisik, dia akan teringat
gangguan berupa dosa.
Maka dia
meminta kepada Allah l agar meringankan dosanya dan mengampuninya,
sebagaimana Allah l telah menganugerahkan perlindungan kepadanya dari
gangguan fisik.
(asy-Syarhul Mumti’, 1/84)
Di samping itu, kekuatan
manusia itu amatlah terbatas untuk mensyukuri nikmat yang dicurahkan
oleh Allah l berupa makanan, minuman, dan pengaturan zat makanan di
dalam tubuh sesuai dengan kebutuhan sampai akhirnya dikeluarkan sisanya
dari tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya seorang hamba memohon ampun
kepada Allah l sebagai pengakuan akan kekurangan tersebut dari apa yang
sepatutnya.
(Tuhfatul Ahwadzi, 1/42)
Tempat Terlarang untuk Buang Hajat
Air yang tidak mengalir
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لاَ يَجْرِي
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir.”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 239 dan Muslim no. 282)
Yang rajih (kuat) dari larangan
di sini adalah menunjukkan keharamannya. Baik air yang tidak mengalir
itu banyak maupun sedikit, kencing maupun buang air besar, terlebih
buang air besar ini lebih jelek daripada kencing. Perkara yang juga
terlarang dalam permasalahan ini adalah jika seseorang kencing di dalam
bejana kemudian dia buang air kencing tersebut ke air yang tidak
mengalir tersebut. Sementara itu, tidaklah terlarang membuang hajat
pada air yang mengalir, namun lebih baik dijauhi. Terlebih lagi bila
air yang mengalir itu sedikit.
(Syarah Shahih Muslim, 3/187—188, Subulus Salam, 1/34—35)
Lubang
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْجُحْرِ
“Jangan sekali-kali salah
seorang dari kalian kencing di lubang (yang biasa digali oleh binatang
sebagai tempat persembunyiannya).”
(HR. Ahmad no. 19847 dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Shahih, 1/499)
Qatadah t, salah seorang perawi
hadits ini, ditanya oleh murid-muridnya tentang alasan pelarangan di
atas. Qatadah pun menjawab, “Lubang-lubang itu adalah tempat tinggal
jin.”3
(al-Jami’ush Shahih, 1/499)
Di samping itu, tentu juga mengganggu hewan yang ada di dalamnya.
Jalan yang dilewati manusia dan tempat mereka bernaung
اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ.
قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي
يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ
“Berhati-hatilah kalian dari
dua hal yang dilaknat (oleh manusia).” Para sahabat bertanya, “Apa yang
dimaksud dengan dua penyebab orang dilaknat?” Beliau menjawab, “Orang
yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia4 atau di tempat
yang biasa mereka bernaung.”
(Sahih, HR. Muslim no. 269)
Al-Khaththabi t dan ulama selainnya berkata,
“Yang
dimaukan dengan tempat naungan adalah tempat yang dijadikan oleh
manusia untuk bernaung, mereka singgah dan duduk di situ.”
(Syarah Shahih Muslim, 3/163)
Buang hajat di tempat
demikian dilarang karena mengganggu kaum muslimin dengan menajisi dan
mengotori tempat lalu-lalang mereka (Syarah Shahih Muslim, 3/163).
Sementara memberikan gangguan kepada kaum muslimin itu diharamkan.
(ad-Darari, 24, asy-Syarhul Mumti’, 1/102)
Ada lagi tempat-tempat
terlarang lainnya untuk buang hajat, seperti di mata air atau sungai
yang digunakan manusia untuk minum dan wudhu, di bawah pohon yang
sedang berbuah walaupun tidak digunakan untuk bernaung, dan di tepi
sungai yang mengalir, serta di pintu-pintu masjid. Namun hadits yang
menyebutkan tempat-tempat tersebut semuanya lemah. Hanya saja yang
menjadi patokan kita adalah tidak boleh memberikan gangguan kepada
manusia, sehingga kita harus menghindari buang hajat di tempat-tempat
mana saja yang biasa dimanfaatkan oleh mereka.
Sumber : http://cepat-terindex-google.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar