Kamis, 08 Maret 2012

BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN


Ada sementara orang yang menuntut bukti  wujud  dan  keesaan Tuhan   dengan  pembuktian  material.  Mereka  ingin  segera melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s. suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya,

"'Engkau sekali-kali tidak  akan  dapat  melihat-Ku.  Tetapi lihatlah  ke  bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku.'  Tatkala Tuhannya   tampak   bagi   gunung   itu,  kejadian  tersebut menjadikan gunung  itu  hancur  luluh  dan  Musa  pun  jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha suci Engkau, aku bertobat  kepada-Mu,  dan  aku  orang  yang pertama  (dari  kelompok)  orang beriman'" (QS Al-A'raf [7]: 143).

Peristiwa ini membuktikan  bahwa  manusia  agung  pun  tidak berkemampuan   untuk   melihat-Nya   -paling   tidak-  dalam
kehidupan   dunia   ini.   Agaknya   kenyataan   sehari-hari menunjukkan  bahwa  kita  dapat  mengakui keberadaan sesuatu
tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya "nyawa"  bukan  saja  tanpa  melihatnya bahkan tidak mengetahui substansinya? Di  sisi  lain  ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak dapat melihat sesuatu. Pertama,  karena  sesuatu  yang  akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir lebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan oleh seseorang.  Namun  kegagalan  itu  tidak  berarti pasir yang dicari  tidak  ada  wujudnya.  Faktor  kedua  adalah  karena sesuatu  itu  sangat  terang. Bukankah kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena  sedemikian  terangnya  cahaya matahari  dibanding  dengan kemampuan matanya untuk melihat? Tetapi bila malam tiba,  dengan;  mudah  ia  dapat  melihat. Demikian  pula  manusia tidak sanggup menatap matahari dalam beberapa saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akan menemukan kegelapan Kalau demikian wajar jika mata kepalanya tak mampu melihat Tuhan Pencipta matahari itu. Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya  oleh  seorang  sahabatnya bernama Zi'lib Al-Yamani, "Apakah   Anda   pernah  melihat  Tuhan?"  Beliau  menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang  tidak  pernah  saya  lihat?" "Bagaimana  Anda  melihat-Nya?"  tanyanya  kembali. Imam Ali menjawab,"Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang  kasat,  tetapi  bisa  dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ..."

Mata hati  jauh  lebih  tajam  dan  dapat  lebih  meyakinkan daripada  pandangan  mata. Bukankah mata sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di  dalam  sungai,  bintang yang besar terlihat kecil dari kejauhan. Dalam  kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika, kita dapat menyatakan bahwa  tidak  ada  satu  argumen  yang dikemukakan  oleh  para  filosof  tentang  Wujud dan Keesaan Tuhan yang tidak dikemukakan Al-Quran. Hanya  bedanya  bahwa kalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran sedemikian sederhana dan  mudah  ditangkap,  berbeda  dengan  para  filosof  yang seringkali berbelit-belit.

Dahulu  dikenal  apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi, dan  teleologi.  Bukti  ontologi  menggambarkan  bahwa  kita mempunyai  ide  tentang  Tuhan, dan tidak dapat membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti  kosmologi berdasar  pada  ide  "sebab dan akibat" yakni, tidak mungkin tertadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir pastilah  Tuhan.  Bukti teleologi, berdasar pada keseragaman dan keserasian alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur keserasian itu Kini  para  filosof memperkenalkan bukti-bukti baru, seperti pengalaman moral. Pengalaman moral merupakan  tanda  tentang adanya  yang  real;  pengalaman ini tidak akan berarti tanpa adanya susunan moral yang objektif, dan ini pada  gilirannya tidak  akan  berarti  tanpa adanya satu Zat Yang Mahatinggi, Tuhan Yang Mahakuasa. Bukti lain adalah pengalaman  keagamaan  yang  dialami  oleh kebanyakan  manusia  yang  tidak diragukan kejujurannya, dan yang intinya mengandung informasi yang sama. Bukti-bukti  yang  dipaparkan  di  atas,  dikemukakan   oleh Al-Quran   dengan   berbagai   cara,  baik  tersurat  maupun tersirat.

Secara umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti Keesaan Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu:

1.   Kenyataan wujud yang tampak.
2.   Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3.   Dalil-dalil logika.

Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai bukti,  khususnya  keberadaan  alam  raya  ini dengan segala isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan  untuk  melakukan nazhar,  fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa  ada  yang mewujudkannya. "Tidakkah  mereka  melihat kepada unta bagaimana diciptakan, dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung  bagaimana ia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS Al-Ghasyiyah [88]: l7-20).

Dalam   uraian    Al-Quran    tentang    kenyataan    wujud, dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya. "Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan  langit  itu  tidak mempunyai  retak-retak  sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi serta Kami letakkan padanya gunung-gunung  yang  kokoh,  dan Kami  tumbuhkan  padanya  segala  macam  tanaman  yang indah dipandang mata." (QS Qaf [50]: 6-7).

Adapun keserasiannya, maka dinyatakannya:

"(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.  Kamu sama  sekali  tidak  melihat  pada  ciptaan  Tuhan Yang Maha Pengasih  sesuatu  yang  tidak   seimbang.   Maka   lihatlah berulang-ulang,   adakah   sesuatu  yang  kamu  lihat  tidak seimbang?   Kemudian   pandanglah   sekali   lagi,   niscaya penglihatanmu  akan  kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu pun yang cacat,  dan  penglihatanmu  itu  pun  dalam keadaan payah" (QS Al-Mulk [67]: 3-4).

Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia, "Katakanlah   (hai   Muhammad  kepada  yang  mempersekutukan Tuhan), 'Jelaskanlah  kepadaku  jika  datang  siksaan  Allah kepadamu,  atau  datang  hari  kiamat,  apakah  kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika  kamu  orang-orang  yang  benar?' Tidak!  Tetapi  hanya  kepada-Nya  kamu  bermohon,  maka Dia menyisihkan bahaya yang karenanya  kamu  berdoa  kepada-Nya, jika  Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang  kamu  sekutukan  (dengan  Allah)"  (QS  Al-An'am  [6]: 40-41).

"Dialah   Tuhan  yang  menjadikan  kamu  dapat  berjalan  di daratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu berada di  dalam  bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para penumpangnya dengan  tiupan  angin  yang  baik,  dan  mereka bergembira  karenanya:  (kemudian) datanglah angin badai dan apabila  gelombang  dari  segenap  penjuru  menimpanya,  dan mereka  yakin  bahwa  mereka  telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada  Allah  dengan  mengikhlaskan  ketaatan kepada-Nya  semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari  bahaya  ini,  pastilah  kami akan  termasuk  orang-orang yang bersyukur'" (QS Yunus [10]: 22).

Demikian Al-Quran menggambarkan  hati  manusia.  Karena  itu sungguh  tepat  pandangan  sementara filosof yang menyatakan bahwa manusia dapat  dipastikan  akan  terus  mengenal  dari berhubungan  dengan  Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini  selama tabiat  kemanusiaan  masih  sama  seperti  sediakala,  yakni memiliki naluri mengharap, cemas, dan takut,  karena  kepada siapa  lagi  jiwanya  akan  mengarah  jika  rasa  takut atau harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.

Bertebaran  (ayat-ayat  yang  menguraikan dalil-dalil aqliah tentang Keesaan Tuhan- Misalnya, "Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia  tidak  mempunyai istri.   Dia   yang  menciptakan  segala  sesuatu,  dan  Dia mengetahui segala sesuatu" (QS Al-An'am [6]: 101)

"Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada  dua  Tuhan, maka pastilah keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22)

Maksud  ayat  ini  adalah "seandainya ada dua pencipta, maka akan  kacau  ciptaan,  karena  jika  masing-masing  Pencipta menghendaki  sesuatu  yang tidak dikehendaki oleh yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun  akan  kacau  atau tidak  akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka yang kalah  bukan  Tuhan;  dan  apabila  mereka  berdua bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan,  karena  Tuhan  tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu."

Pengalaman   ruhani   pun  disebutkan  oleh  Al-Quran  yaitu pengalaman para Nabi dan  Rasul.  Misalnya  pengalaman  Nabi Musa   a.s.  (Baca  QS  Thaha  [20]:  9-47).  Demikian  juga pengalaman  Nabi  Ibrahim  dan  Nabi  Muhammad  Saw.,  serta nabi-nabi yang lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda, namun semuanya bermuara pada tauhid atau Keesaan Tuhan. Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas,  Al-Quran  juga mengajak  mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan hujjah mereka "Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, 'Kemukakan bukti kalian!'" (QS Al-Anbiya' [21]: 24).

"Katakanlah,  'Jelaskanlah  kepadaku  tentang  apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka  ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit.  Bawalah  kepadaku kitab   sebelum   (Al-Quran)   ini,   atau  peninggalan  dan pengetahuan   (orang-orang   dahulu)   jika   kamu    adalah orang-orang yang benar'" (QS Al-Ahqaf [46]: 4)


Sumber : http://media.isnet.org

Tidak ada komentar:

Web Hosting

Awan Kintown