"'Engkau
sekali-kali tidak akan dapat
melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke
bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [seperti keadaannya semula),
niscaya kamu dapat melihat-Ku.' Tatkala Tuhannya tampak
bagi gunung itu,
kejadian tersebut menjadikan
gunung itu hancur
luluh dan Musa
pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu,
dan aku orang
yang pertama (dari kelompok)
orang beriman'" (QS Al-A'raf [7]: 143).
Peristiwa
ini membuktikan bahwa manusia
agung pun tidak berkemampuan untuk
melihat-Nya -paling tidak-
dalam
kehidupan dunia
ini. Agaknya kenyataan
sehari-hari menunjukkan
bahwa kita dapat
mengakui keberadaan sesuatu
tanpa
harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan
atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya
"nyawa" bukan saja tanpa melihatnya bahkan tidak mengetahui
substansinya? Di sisi lain
ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak dapat melihat sesuatu.
Pertama, karena sesuatu
yang akan dilihat terlalu kecil
apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir lebih-lebih di malam yang kelam tidak
mungkin ditemukan oleh seseorang.
Namun kegagalan itu
tidak berarti pasir yang dicari tidak
ada wujudnya. Faktor
kedua adalah karena sesuatu itu
sangat terang. Bukankah kelelawar
tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian
terangnya cahaya matahari dibanding
dengan kemampuan matanya untuk melihat? Tetapi bila malam tiba, dengan;
mudah ia dapat
melihat. Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam beberapa
saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akan menemukan kegelapan Kalau
demikian wajar jika mata kepalanya tak mampu melihat Tuhan Pencipta matahari
itu. Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya
oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al-Yamani, "Apakah Anda
pernah melihat Tuhan?" Beliau
menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak
pernah saya lihat?" "Bagaimana Anda
melihat-Nya?" tanyanya kembali. Imam Ali menjawab,"Dia tak bisa
dilihat oleh mata dengan pandangannya yang
kasat, tetapi bisa
dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ..."
Mata
hati jauh lebih
tajam dan dapat
lebih meyakinkan daripada pandangan
mata. Bukankah mata sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok
di dalam
sungai, bintang yang besar
terlihat kecil dari kejauhan. Dalam kaitan
dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika, kita dapat menyatakan bahwa tidak
ada satu argumen
yang dikemukakan oleh para
filosof tentang Wujud dan Keesaan Tuhan yang tidak
dikemukakan Al-Quran. Hanya bedanya bahwa kalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran
sedemikian sederhana dan mudah ditangkap,
berbeda dengan para
filosof yang seringkali
berbelit-belit.
Dahulu dikenal
apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi, dan teleologi.
Bukti ontologi menggambarkan
bahwa kita mempunyai ide
tentang Tuhan, dan tidak dapat
membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti kosmologi berdasar pada
ide "sebab dan akibat"
yakni, tidak mungkin tertadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab
terakhir pastilah Tuhan. Bukti teleologi, berdasar pada keseragaman dan
keserasian alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur
keserasian itu Kini para filosof memperkenalkan bukti-bukti baru,
seperti pengalaman moral. Pengalaman moral merupakan tanda
tentang adanya yang real;
pengalaman ini tidak akan berarti tanpa adanya susunan moral yang
objektif, dan ini pada gilirannya tidak akan
berarti tanpa adanya satu Zat
Yang Mahatinggi, Tuhan Yang Mahakuasa. Bukti lain adalah pengalaman keagamaan
yang dialami oleh kebanyakan manusia
yang tidak diragukan
kejujurannya, dan yang intinya mengandung informasi yang sama. Bukti-bukti yang
dipaparkan di atas,
dikemukakan oleh Al-Quran dengan
berbagai cara, baik
tersurat maupun tersirat.
Secara
umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti Keesaan Tuhan dengan tiga
bagian pokok, yaitu:
1. Kenyataan wujud yang tampak.
2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3. Dalil-dalil logika.
Dalam
konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya
keberadaan alam raya
ini dengan segala isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan untuk
melakukan nazhar, fikr, serta
berjalan di permukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin
terwujud tanpa ada yang mewujudkannya. "Tidakkah mereka
melihat kepada unta bagaimana diciptakan, dan ke langit bagaimana ia
ditinggikan, ke gunung bagaimana ia
ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS Al-Ghasyiyah
[88]: l7-20).
Dalam uraian
Al-Quran tentang kenyataan
wujud, dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya. "Tidakkah
mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan
menghiasinya dan langit itu
tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi serta
Kami letakkan padanya gunung-gunung
yang kokoh, dan Kami
tumbuhkan padanya segala
macam tanaman yang indah dipandang mata." (QS Qaf
[50]: 6-7).
Adapun
keserasiannya, maka dinyatakannya:
"(Allah)
yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sama sekali tidak
melihat pada ciptaan
Tuhan Yang Maha Pengasih
sesuatu yang tidak
seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah
sesuatu yang kamu
lihat tidak seimbang? Kemudian
pandanglah sekali lagi,
niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu
pun yang cacat, dan penglihatanmu
itu pun dalam keadaan payah" (QS Al-Mulk [67]:
3-4).
Dalam
konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia, "Katakanlah (hai Muhammad
kepada yang mempersekutukan Tuhan), 'Jelaskanlah kepadaku
jika datang siksaan
Allah kepadamu, atau datang
hari kiamat, apakah
kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika
kamu orang-orang yang
benar?' Tidak! Tetapi hanya
kepada-Nya kamu bermohon,
maka Dia menyisihkan bahaya yang karenanya kamu
berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan
sembahan-sembahan yang kamu sekutukan
(dengan Allah)" (QS
Al-An'am [6]: 40-41).
"Dialah Tuhan
yang menjadikan kamu
dapat berjalan di daratan, dan (berlayar) di lautan.
Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa
para penumpangnya dengan tiupan angin
yang baik, dan
mereka bergembira karenanya: (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang
dari segenap penjuru
menimpanya, dan mereka yakin
bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa
kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika
Engkau menyelamatkan kami dari
bahaya ini, pastilah
kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur'" (QS Yunus
[10]: 22).
Demikian
Al-Quran menggambarkan hati manusia.
Karena itu sungguh tepat
pandangan sementara filosof yang
menyatakan bahwa manusia dapat
dipastikan akan terus
mengenal dari berhubungan dengan
Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu pengetahuan membuktikan lawan
dari hal tersebut. Ini selama tabiat kemanusiaan
masih sama seperti
sediakala, yakni memiliki naluri
mengharap, cemas, dan takut, karena kepada siapa
lagi jiwanya akan
mengarah jika rasa
takut atau harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan
dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.
Bertebaran (ayat-ayat
yang menguraikan dalil-dalil
aqliah tentang Keesaan Tuhan- Misalnya, "Bagaimana Dia mempunyai anak,
padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia
yang menciptakan segala
sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu" (QS
Al-An'am [6]: 101)
"Seandainya
pada keduanya (langit dan bumi) ada
dua Tuhan, maka pastilah keduanya
binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22)
Maksud ayat
ini adalah "seandainya ada
dua pencipta, maka akan kacau ciptaan,
karena jika masing-masing
Pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lain, maka
kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun
akan kacau atau tidak
akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka yang
kalah bukan Tuhan;
dan apabila mereka
berdua bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka,
sehingga keduanya bukan Tuhan,
karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah
atas sesuatu."
Pengalaman ruhani
pun disebutkan oleh
Al-Quran yaitu pengalaman para
Nabi dan Rasul. Misalnya
pengalaman Nabi Musa a.s.
(Baca QS Thaha
[20]: 9-47). Demikian
juga pengalaman Nabi Ibrahim
dan Nabi Muhammad
Saw., serta nabi-nabi yang lain
dengan berbagai rinciannya yang berbeda, namun semuanya bermuara pada tauhid
atau Keesaan Tuhan. Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas, Al-Quran
juga mengajak mereka yang
mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan hujjah mereka "Apakah mereka
mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, 'Kemukakan bukti kalian!'"
(QS Al-Anbiya' [21]: 24).
"Katakanlah, 'Jelaskanlah
kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah;
perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka
ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat (dengan Allah)
dalam (penciptaan) langit. Bawalah kepadaku kitab sebelum
(Al-Quran) ini, atau
peninggalan dan pengetahuan (orang-orang dahulu)
jika kamu adalah orang-orang yang benar'" (QS
Al-Ahqaf [46]: 4)
Sumber : http://media.isnet.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar