Kamis, 08 Maret 2012

MACAM-MACAM KEESAAN


Berbicara  tentang  macam-macam  keesaan  Allah mengantarkan kita untuk memahami paling tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnya tentang ayatnya yang pertama,  "Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa." Abu As-Su'ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis dalam tafsirnya, bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa  untuk menunjuk  kepada  Allah,  padahal  sebelumnya  tidak  pernah disebut dalam susunan redaksi ayat ini  kata  yang  menunjuk kepada-Nya.  Ini,  menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia Yang Mahakuasa itu, sedemikian terkenal dan nyata,  sehingga hadir  dalam  benak setiap orang dan hanya kepada-Nya selalu tertuju segala isyarat.

Ahad yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil  dari  akar kata wahdat yang berarti "kesatuan," seperti juga kata wahid
yang berarti "satu." Kata ini  sekali  berkedudukan  sebagai nama,  dan  sekali  sebagai  sifat  bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia  hanya  digunakan  untuk Allah Swt. semata. Dalam  ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah Swt., dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya. Dari  segi  bahasa,  kata  Ahad walaupun berakar sama dengan Wahid, tetapi masing-masing memiliki  makna  dan  penggunaan tersendiri.  Kata  Ahad  hanya  digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan  baik  dalam  benak  apalagi dalam  kenyataan,  karena  itu  kata  ini  -ketika berfungsi sebagai  sifat-  tidak  termasuk  dalam  rentetan  bilangan,
berbeda  halnya  dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnya sehingga  menjadi  dua,  tiga,  dan   seterusnya,   walaupun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya. Berbicara  tentang  angka  -dalam  kaitannya  dengan bahasan tauhid- agaknya menarik untuk  dihayati  bahwa  kata  "Ahad" terulang  di  dalam  Al-Quran  sebanyak 85 kali, namun hanya sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat Al-Ikhlas,   "Qul   Huwa  Allahu  Ahad."  Seakan-akan  Allah bermaksud untuk  menekankan  keyakinan  tauhid,  bukan  saja dalam  maknanya,  tetapi  juga  dalam  bilangan  pengulangan lafalnya,  serta  kandungan  lafal  itu.  Ini  menggambarkan kemurnian  mutlak  dalam  keesaan.  Bukankah kata Wahid yang berarti "satu," dapat  berbilang  unsurnya,  berbeda  dengan kata  Ahad  yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar unsurnya?

Benar! Allah  terkadang  juga  disifati  dengan  kata  Wahid seperti antara lain dalam firman-Nya:  "Tuhan-Mu  adalah  Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang"  (QS  Al-Baqarah [2]: 163)

Sementara  ulama  berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di atas,  menunjuk  kepada  keesaan  Zat-Nya  disertai   dengan keragaman  sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang,  Mahakuat,  Maha  Mengetahui,   dan   sebagainya, sedangkan  kata  Ahad  dalam  surat  Al-Ikhlas  itu, mengacu kepada keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan  keragaman sifat-sifat tersebut. Terlepas  dari  setutu  atau tidak dengan pembedaan terakhir ini, namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan  Keesaan-Nya itu mencakup empat macam keesaan

1. Keesaan Zat
2. Keesaan Sifat
3. Keesaan Perbuatan, dan
4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.

1. KEESAAN ZAT-NYA

Keesaan Zat  mengandung  pengertian  bahwa  seseorang  harus percaya  bahwa  Allah  Swt.  tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian,  karena  bila  Zat  Yang  Mahakuasa  itu terdiri  dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsur, atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian  itu.  Atau  dengan  kata  lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai contoh sebuah jam   tangan.  Anda  menemukan  jam  tersebut  terdiri  dari beberapa bagian, ada jarum yang menunjuk angka,  ada  logam, ada  karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian  itu,  ia  tidak dapat  menjadi  jam  tangan.  Nah,  ketika itu, walaupun jam tangan ini hanya  satu,  tetapi  ia  tidak  esa,  karena  ia terdiri  dari  bagian-bagian  tersebut.  Jika  demikian, Zat Tuhan pasti tidak  terdiri  dari  unsur  atau  bagian-bagian betapapun  kecilnya,  karena  jika  demikian, Dia tidak lagi menjadi Tuhan. Benak kita  tidak  dapat  membayangkan  Tuhan membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian:

"Wahai  seluruh  manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha  Terpuji" (QS Fathir [35]: 15).

Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak  bersumber  dari sesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa, "Tidak  ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11)

Perhatikan redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun  yang serupa  dengan-Nya."  Yang  serupa dengan-Nya pun tidak ada, apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang sama  dengan-Nya. Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang seperti dengan-Nya, yang secara  imajinatif  pun  tidak  ada yang serupa dengan-Nya. Keragaman  dan  bilangan  lebih  dari  satu adalah substansi setiap makhluk, bukan ciri  Khaliq.  Itulah  sebagian  makna Keesaan dalam Zat-Nya.

2. KEESAAN SIFAT-NYA

Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak  sama  dalam  substansi  dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan  untuk  menunjuk  sifat  tersebut  sama. Sebagai  contoh,  kata  Rahim  merupakan  sifat  bagi Allah, tetapi juga  digunakan  untuk  menunjuk  rahmat  atau  kasih sayang  makhluk.  Namun  substansi  dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang  menyamai substansi dan kapasitas sifat tersebut. Sementara  ulama  memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu, dalam  arti  bahwa  Zat-Nya  sendiri  merupakan   sifat-Nya. Demikian  mereka  memahami keesaan secara amat murni. Mereka menolak adanya "sifat" bagi  Allah,  walaupun  mereka  tetap yakin   dan   percaya  bahwa  Allah  Maha  Mengetahui,  Maha Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain  yang  secara  umum dikenal  ada  sembilan  puluh sembilan. Mereka yakin tentang hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya  sifat-sifat. Lebih  jauh penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-Nya" merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan  tauhid  Zat, dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun kecilnya unsur  itu,  maka  dengan  tauhid  sifat  dinafikan segala  macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi sifat-sifat Allah.  Berapa  jumlah  sifat  Allah  itu?  Yang populer  menurut  sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad Husain  Ath-Thabathaba'i,   setelah   menelusuri   ayat-ayat Al-Quran,  menyimpulkan  bahwa ada 127 nama atau sifat Allah yang  ditemukan   dalam   Al-Quran,   kesemuanya   merupakan Al-Asma',     Al-Husna.    Rincian    sifat/nama-nama    itu dikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan  ketika  menafsirkan QS Al-A'raf [7]: 180.

3. KEESAAN PERBUATAN-NYA

Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik  sistem  kerjanya  maupun  sebab  dan wujud-Nya,  kesemuanya  adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa  yang  dikehendaki-Nya  terJadi,  dan  apa  yang   tidak dikehendaki-Nya  tidak  akan  terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat),  tidak  pula  kekuatan  (untuk  menolak madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt., itulah makna: [tulisan Arab]

Tetapi   ini   bukan   berarti   bahwa  Allah  Swt.  Berlaku sewenang-wenang,   atau   "bekerJa"   tanpa   sistem    yang ditetapkanNya.   Keesaan   perbuatan-Nya   dikaitkan  dengan hukum-hukum,    atau    takdir    dan    sunnatullah    yang ditetapkan-Nya. Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun.

"Sesungguhnya   keadaan-Nya  bila  Dia  menghendaki  sesuatu hanyalah berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah  ia"  (QS  Ya  Sin
[36]: 82)

Tetapi  ini  bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata "jadilah;" ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya  dalam  mewujudkan  sesuatu Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti  bahwa  segala  sesuatu yang  diciptakan-Nya  tercipta  dalam sekejap, tanpa proses, sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kun. "Sesungguhnya  keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti Adam, diciptakan dari  tanah  kemudian  Dia  katakan kepadanya  kun  (jadilah),  maka jadilah dia" (9S Ali 'Imran [3]: 59).

Pada ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian  Isa, yang   dimulai  dengan  kehadiran  malaikat  kepada  Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan  akhirnya lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26).

Sekali  lagi,  kata  kun  bukan berarti bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses. Kalau ketiga keesaan di atas merupakan  hal-hal  yang  harus diketahui  dan  diyakini, maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu. Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu
ragamnya  yang  paling  jelas,  adalah  amalan tertentu yang ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh  Allah  atau melalui  Rasul-Nya,  dan  yang secara populer dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang  umum,  mencakup  segala macam aktivitas yang dilakukan demi karena Allah.

Nah, mengesakan  Tuhan  dalam  beribadah,  menuntut  manusia untuk  melaksanakan  segala  sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu dalam  bentuk  ibadah  mahdhah  (murni),  maupun selainnya.   Walhasil,   keesaan   Allah   dalam   beribadah kepada-Nya adalah dengan  melaksanakan  apa  yang  tergambar dalam firman-Nya, "Katakanlah,  'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'" (QS Al-An'am [6]: 162).


 Sumber : http://media.isnet.org

Tidak ada komentar:

Web Hosting

Awan Kintown