Berbicara tentang
macam-macam keesaan Allah mengantarkan kita untuk memahami paling
tidak surat
Al-Ikhlas, sedikitnya tentang ayatnya yang pertama, "Katakanlah! Dia Allah Yang Maha
Esa." Abu As-Su'ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis dalam
tafsirnya, bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa
untuk menunjuk kepada Allah,
padahal sebelumnya tidak
pernah disebut dalam susunan redaksi ayat ini kata
yang menunjuk kepada-Nya. Ini,
menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia Yang Mahakuasa itu, sedemikian
terkenal dan nyata, sehingga hadir dalam
benak setiap orang dan hanya kepada-Nya selalu tertuju segala isyarat.
Ahad
yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil
dari akar kata wahdat yang
berarti "kesatuan," seperti juga kata wahid
yang
berarti "satu." Kata ini
sekali berkedudukan sebagai nama,
dan sekali sebagai
sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan
sebagai sifat, maka ia hanya digunakan
untuk Allah Swt. semata. Dalam
ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah Swt., dalam arti
bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
Dari segi bahasa,
kata Ahad walaupun berakar sama
dengan Wahid, tetapi masing-masing memiliki
makna dan penggunaan tersendiri. Kata
Ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat
menerima penambahan baik dalam
benak apalagi dalam kenyataan,
karena itu kata
ini -ketika berfungsi sebagai sifat-
tidak termasuk dalam
rentetan bilangan,
berbeda halnya
dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnya sehingga menjadi
dua, tiga, dan
seterusnya, walaupun penambahan
itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya. Berbicara tentang
angka -dalam kaitannya
dengan bahasan tauhid- agaknya menarik untuk dihayati
bahwa kata "Ahad" terulang di
dalam Al-Quran sebanyak 85 kali, namun hanya sekali yang
menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat Al-Ikhlas, "Qul
Huwa Allahu Ahad."
Seakan-akan Allah bermaksud
untuk menekankan keyakinan
tauhid, bukan saja dalam
maknanya, tetapi juga
dalam bilangan pengulangan lafalnya, serta
kandungan lafal itu.
Ini menggambarkan kemurnian mutlak
dalam keesaan. Bukankah kata Wahid yang berarti
"satu," dapat berbilang unsurnya,
berbeda dengan kata Ahad
yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar unsurnya?
Benar!
Allah terkadang juga
disifati dengan kata
Wahid seperti antara lain dalam firman-Nya: "Tuhan-Mu adalah
Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah [2]: 163)
Sementara ulama
berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di atas, menunjuk
kepada keesaan Zat-Nya
disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih,
Maha Penyayang, Mahakuat, Maha
Mengetahui, dan sebagainya, sedangkan kata
Ahad dalam surat
Al-Ikhlas itu, mengacu kepada
keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan
keragaman sifat-sifat tersebut. Terlepas
dari setutu atau tidak dengan pembedaan terakhir ini,
namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan
Keesaan-Nya itu mencakup empat macam keesaan
1.
Keesaan Zat
2.
Keesaan Sifat
3.
Keesaan Perbuatan, dan
4.
Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
1. KEESAAN ZAT-NYA
Keesaan
Zat mengandung pengertian
bahwa seseorang harus percaya
bahwa Allah Swt.
tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian, karena
bila Zat Yang
Mahakuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya
unsur, atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu.
Atau dengan kata
lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil
sebagai contoh sebuah jam tangan. Anda
menemukan jam tersebut
terdiri dari beberapa bagian, ada
jarum yang menunjuk angka, ada logam, ada
karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh sebuah jam
tangan, karena tanpa bagian itu, ia
tidak dapat menjadi jam
tangan. Nah, ketika itu, walaupun jam tangan ini
hanya satu, tetapi
ia tidak esa,
karena ia terdiri dari
bagian-bagian tersebut. Jika
demikian, Zat Tuhan pasti tidak
terdiri dari unsur
atau bagian-bagian betapapun kecilnya,
karena jika demikian, Dia tidak lagi menjadi Tuhan. Benak
kita tidak dapat
membayangkan Tuhan membutuhkan
sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian:
"Wahai seluruh
manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah Mahakaya tidak membutuhkan
sesuatu lagi Maha Terpuji" (QS
Fathir [35]: 15).
Setiap
penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu dan
Dia sendiri tidak bersumber dari sesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan
Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11)
Perhatikan
redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya." Yang serupa dengan-Nya pun tidak ada, apalagi yang
seperti Dia. lebih-lebih yang sama
dengan-Nya. Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang
seperti dengan-Nya, yang secara
imajinatif pun tidak
ada yang serupa dengan-Nya. Keragaman
dan bilangan lebih
dari satu adalah substansi setiap
makhluk, bukan ciri Khaliq. Itulah sebagian
makna Keesaan dalam Zat-Nya.
2. KEESAAN SIFAT-NYA
Adapun
keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang
tidak sama dalam
substansi dan kapasitasnya dengan
sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk
menunjuk sifat tersebut
sama. Sebagai contoh, kata
Rahim merupakan sifat
bagi Allah, tetapi juga
digunakan untuk menunjuk
rahmat atau kasih sayang
makhluk. Namun substansi
dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat
makhluk-Nya. Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi dan kapasitas sifat
tersebut. Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu, dalam arti
bahwa Zat-Nya sendiri
merupakan sifat-Nya. Demikian mereka
memahami keesaan secara amat murni. Mereka menolak adanya
"sifat" bagi Allah, walaupun
mereka tetap yakin dan
percaya bahwa Allah
Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Penyantun, dan
lain-lain yang secara
umum dikenal ada sembilan
puluh sembilan. Mereka yakin tentang hal tersebut, tetapi mereka menolak
menamainya sifat-sifat. Lebih jauh penganut paham ini berpendapat bahwa
"sifat-Nya" merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid
Zat, dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun kecilnya
unsur itu, maka
dengan tauhid sifat
dinafikan segala macam dan bentuk
ketersusunan dan keterbilangan bagi sifat-sifat Allah. Berapa
jumlah sifat Allah
itu? Yang populer menurut
sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad Husain Ath-Thabathaba'i, setelah
menelusuri ayat-ayat Al-Quran, menyimpulkan
bahwa ada 127 nama atau sifat Allah yang
ditemukan dalam Al-Quran,
kesemuanya merupakan Al-Asma', Al-Husna. Rincian
sifat/nama-nama itu dikemukakannya
dalam Tafsirnya Al-Mizan ketika menafsirkan QS Al-A'raf [7]: 180.
3. KEESAAN PERBUATAN-NYA
Keesaan
ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini,
baik sistem kerjanya
maupun sebab dan wujud-Nya, kesemuanya
adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa
yang dikehendaki-Nya terJadi,
dan apa yang
tidak dikehendaki-Nya tidak akan
terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat), tidak
pula kekuatan (untuk
menolak madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt., itulah makna: [tulisan
Arab]
Tetapi ini
bukan berarti bahwa
Allah Swt. Berlaku sewenang-wenang, atau
"bekerJa" tanpa sistem
yang ditetapkanNya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan
dengan hukum-hukum, atau takdir
dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya. Dalam mewujudkan
kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun.
"Sesungguhnya keadaan-Nya
bila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah ia"
(QS Ya Sin
[36]:
82)
Tetapi ini
bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata "jadilah;"
ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam
mewujudkan sesuatu Dia tidak
membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa
segala sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta
dalam sekejap, tanpa proses, sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa
a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kun. "Sesungguhnya keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah
seperti Adam, diciptakan dari tanah kemudian
Dia katakan kepadanya kun
(jadilah), maka jadilah dia"
(9S Ali 'Imran [3]: 59).
Pada
ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian Isa, yang
dimulai dengan kehadiran
malaikat kepada Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang
kelahiran, dan akhirnya lahir (Baca QS
Maryam [19]: 16-26).
Sekali lagi,
kata kun bukan berarti bahwa segala sesuatu yang
dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses. Kalau ketiga keesaan di
atas merupakan hal-hal yang
harus diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan
dari ketiga makna keesaan terdahulu. Ibadah itu beraneka ragam dan
bertingkat-tingkat. Salah satu
ragamnya yang
paling jelas, adalah
amalan tertentu yang ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung
oleh Allah atau melalui
Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal dengan istilah
ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum,
mencakup segala macam aktivitas
yang dilakukan demi karena Allah.
Nah,
mengesakan Tuhan dalam
beribadah, menuntut manusia untuk
melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu
dalam bentuk ibadah
mahdhah (murni), maupun selainnya. Walhasil,
keesaan Allah dalam
beribadah kepada-Nya adalah dengan
melaksanakan apa yang
tergambar dalam firman-Nya, "Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku,
dan matiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'" (QS
Al-An'am [6]: 162).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar