Kamis, 08 Maret 2012

ALLAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA


Salah  satu  ayat  yang menggambarkan dampak kehadiran Allah dalam jiwa manusia adalah firman-Nya, "Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang  lelaki  (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih (buruk perangai  mereka),  dengan  seorang  budak yang  menjadi milik penuh dari seorang saja. Adakah keduanya (budak-budak itu)  sama  halnya?  Segala  puji  bagi  Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).

Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu saling  berselisih  dan  buruk perangainya.  Alangkah  bingung  ia.  Yang ini memerintahkan satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah  atau memerintahkannya  dengan  perintah  lain,  yang  ketiga  pun demikian. Begitu seterusnya, sehingga  pada  akhirnya  budak itu  hidup  dalam  kompleks  kejiwaan  yang  tidak diketahui bagaimana  cara  menanggulanginya.  Bandingkanlah  hal   itu dengan  seorang  budak  lain  yang hanya menjadi milik penuh seseorang  sehingga  ia  tidak  mengalami  kebingungan  atau kontradiksi dalam kesehariannya.

Menarik  dikemukakan  alasan  Murtadha  Muthahhari yang juga memahami sebagaimana ulama-ulama  lain  -arti  kata  rajulan pada  ayat  di  atas  dengan "budak." Ulama tersebut menulis dalam bukunya Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa: Sementara orang  ada  yang  membuat  kemungkinan  berikut, yakni bahwa manusia berkeinginan  untuk  hidup  bebas  (tanpa  kendali). Sesungguhnya  keinginan ini (walaupun merupakan sesuatu yang mustahil) menjadikan  manusia  keluar  dari  kemanusiaannya, karena  ini  berarti  bahwa  ketika  itu  dia tidak mengakui adanya hukum, tujuan, keinginan atau  ide  -dalam  arti  dia kosong  sama  sekali  dari  keyakinan  tertentu, dan keadaan demikian  mencabutnya  dari  hakikat  kemanusiaan.   Keadaan semacam  ini  tidak  ada wujudnya dalam kehidupan manusia di dunia.  Orang-orang  yang  menghendaki   kehidupan   sebebas mungkin,  serta tidak mengakui adanya sedikit peraturan pun, pasti  hidup  mereka  pun  dilandasi  oleh  keyakinan   (ide tertentu)  atau  berusaha  mencari  ide/keyakinan  tertentu. Usaha ini menunjukkan bahwa manusia harus menerima  wewenang pengaturan  dari  keyakinan  (ide  yang ada dalam benaknya). Jika  demikian,  tidak  heran  jika   Al-Quran   menggunakan istilah-istilah  yang  mengandung arti budak (seseorang yang dimiliki oleh pihak lain).

Keadaan  yang  digambarkan  oleh  ayat  di  atas,   terbukti kebenarannya  dalam  kenyataan  hidup orang-orang yang lemah imannya, atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan yang saling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kali dia taat kepada setan, sekali dia ke masjid,  lain  kali  ke klub  malam.  Orang  semacam ini dikuasai atau menjadi budak sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga pada akhimya ia  mengidap  kepribadian  ganda  (split  personality), yang merupakan  salah  satu  bentuk  dari  sekian  banyak  bentuk penyakit   kejiwaan.  Kalau  demikian  wajar  jika  Al-Quran menegaskan bahwa, "Orang-orang yang beriman dan hati  mereka  tenteram  dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Kalau dalam ayat lain Al-Quran menegaskan  bahwa  seandainya pada  keduanya  (langit  dan  bumi)  terdapat  banyak  Tuhan (Pengusa yang mengatur alam)  selain  Allah,  maka  pastilah keduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam QS Al-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan  bahwa  seandainya di  dalam jiwa seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yang mengatur  hidupnya,  maka  pasti  pula  jiwanya  akan  rusak binasa.

Kalau  uraian  di  atas  membuktikan  kebutuhan jiwa manusia kepada akidah  tauhid,  maka  rangkaian  pertanyaan  berikut
dapat  menjadi  salah  satu  bukti tentang kebutuhan akalnya terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang menjamin  bila  Anda  melontar ke depan, maka batu itu tidak mengarah ke belakang? Apa yang  menjamin  bahwa  air  selalu mencari tempat yang rendah? Apa yang mengantar ilmuwan untuk memperoleh semacam,  kepastian,  dalam  langkah-langkahnya?" Kepastian  tersebut  tidak  mungkin  dapat diperoleh kecuali melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa.  Karena jika  Tuhan  berbilang,  maka sekali tuhan ini yang mengatur alam dan menetapkan kehendak-Nya dan kali  lain  tuhan  yang itu.  Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya Tuhan Yang mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam  raya,  juga  butuh kepada  sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat menjamin!

Jika demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran yang  harus  diakui  karena  diperlukan  oleh  jiwa manusia,
tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya  demi  kemajuan  dan kesejahteraan   umat   manusia.   Wajar   jika  perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan,  berakhir  pada  monoteisme murni,  setelah  pada  awalnya menganut keyakinan politeisme (banyak  tuhan),  kemudian   dua   tuhan,   disusul   dengan kepercayaan  tentang  adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.

Apabila  seseorang  telah  menganut  akidah   tauhid   dalam pengertian  yang  sebenarnya,  maka  akan lahir dari dirinya
berbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah  kepada Allah,  baik  ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah  murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan karena akidah  tauhid  merupakan satu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi dan aksi manusia. Karena itu,

"Allah  tidak  mengampuni  siapa  yang   mempersekutukan-Nya dengan  sesuatu,  dan dapat mengampuni selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki (QS Al-Nisa, [4]: 48).

Kalau dalam alam raya ini ada matahari yang  menjadi  sumber kehidupan   makhluk   di   permukaan   bumi  ini,  dan  yang
berkeliling padanya  planet-planet  tata  surya  yang  tidak dapat  melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan matahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya kesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri atau dilepaskan darinya. Kesatuan  dimaksud  antara  lain  adalah kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan  ilmu,  kesatuan agama,   kesatuan   kemanusiaan,   kesatuan  umat,  kesatuan kepribadian manusia, dan lain-lain.

Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara,  diasah, dan  diasuh.  Memang  boleh  jadi  seorang  Muslim mengalami
godaan sehingga  timbul  tanda  tanya  menyangkut  kehadiran Allah  Yang  Maha  Esa itu. Yang demikian adalah wajar-wajar saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal ini  dialami  juga  oleh  para sahabat Nabi Saw. Mereka yang mengadukan pengalamannya kepada beliau ditanggapi oleh  Nabi Saw. dengan bersabda,

"Segala  puji  bagi  Allah  yang menangkal tipuannya (setan) menjadi waswasah (bisikan)."

Sahabat Nabi, Ibnu Abbas,  pernah  ditanya  oleh  Abu  Zamil Sammak  ibn  Al-Walid,  "Apakah  yang  saya rasakan di dalam dadaku (ini)?" "Apakah itu," tanya Ibnu Abbas.  "Demi  Allah saya  tidak  akan mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik, "Apakah semacam syak atau keraguan?" Si penanya  mengiyakan. Ibnu  Abbas kemudian berkata, "Tidak seorang pun (dari kami) yang terbebaskan dari yang  demikian,  sampai  turun  firman Allah:

"Apabila  kamu  dalam  keraguan  dari apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang  yang  membaca kitab sebelum kamu" (QS Yunus [10]: 94).

Apabila  engkau  mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal, Dia  Yang   Akhir,   Dia   Yang   Zhahir   (tampak   melalui
ciptaan-Nya),  Dia  juga  Yang  Batin  (tak  tampak  hakikat Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu."

Demikian Allah Swt. Karena itu wajar kita bermohon:

"Wahai  Tuhan  kami,  janganlah  Engkau  jadikan  hati  kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami,  karuniakanlah  kepada  kami  rahmat   dari   sisi-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah" (QS Ali 'Imran 13]: 8).[]

Catatan kaki:
-------------
1 Wahyu pertama adalah lima ayat pertama surat Al-'Alaq.  Di sana  tidak  ada  kata "Allah.". Wahyu kedua adalah beberapa ayat dari surat Al-Qalam. dalam  surat  ini  tidak  disebut kata  "Allah."  Wahyu  ketiga adalah awal surat Al-Muzammil. Dalam surat ini kata Rabbika ditemukan dua  kali,  dan  kata "Allah"  tujuh kali, yaitu pada ayat terakhir (kedua puluh). Dapat dipastikan bahwa ayat terakhir tersebut turun  setelah Nabi  hijrah  ke  Madinah,  karena  ayat  tersebut berbicara tentang  keterlibatan   para   sahabat   dalam   peperangan, sedangkan  peperangan  pertama baru terjadi pada tahun kedua Hijriah.

Wahyu keempat adalah awal  suratAl-Muddatstsir  (tujuh  ayat pertama).  Dalam  tujuh ayat pertama tersebut kata pengganti Tuhan Yang Maha Esa adalah "Rabbika" yang  disebut  sebanyak dua  kali.  Benar  bahwa dalam surat tersebut ditemukan kata "Allah"  sebanyak  empat  kali,  tetapi  ayat-ayatnya  bukan merupakan rangkaian wahyu-wahyu pertama.

Wahyu  kelima  adalah  surat Al-Lahab (Tabbat) . Dalam surat ini tidak ditemukan kata apa  pun  yang  menunjukkan  kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu  keenam  adalah  surat  At-Takwir.  Pada ayat terakhir (ke-29) surat ini, ditemukan  kata  dengan  predikat  Rabbul 'Alamin,  namun seperti yang diriwayatkan oleh banyak ulama, ayat itu turun terpisah dari ayat-ayat sebelumnya.

Wahyu ketujuh adalah surat  "Sabbihisma."  Dalam  surat  ini disebutkan  kata-kata  "Rabbuka,"  "Allah,"  dan  "Rabbihi" masing-masing sekali. Di  sõnilah  kata  "Allah"  disebutkan untuk  pertama kalinya dalam rangkaian wahyu-wahyu Al-Quran. Namun perlu digarisbawahi bahwa surat ini justru menjelaskan sifat-sifat    Allah   Yang   Mahasuci,   serta   perbuatan-perbuatan-Nya. Wahyu  kedelapan  adalah  Alam  Nasyrah,  wahyu   kesembilan Al-Ashr, wahyu kesepuluh Al-Fajr, wahyu kesebelas Adh-Dhuha, wahyu kedua belas Al-Lail, wahyu  ketiga  belas  Al-'Adiyat, wahyu   keempat   belas   Al-Kautsar,   wahyu  kelima  belas At-Takwir, wahyu keenam  belas  At-Takatsur,  wahyu  ketujuh belas Al-Ma'un, wahyu kedelapan belas Al-Fil. Dalam  Wahyu  kedelapan  hingga  kedelapan belas tersebut di atas,  tidak  terdapat  kata  "Allah."  Nanti   pada   wahyu kesembilan  belas  yaitu, Qul Huwa Allahu Ahad, barulah kata Allah dijelaskan secara rinci, sebagai jawaban terhadap kaum musyrik yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad Saw.
Sumber : http://media.isnet.org

Tidak ada komentar:

Web Hosting

Awan Kintown