Dr. H. Abu Yasid, M.A., LL.M
- Al-Qur’an dan al-Hadits diyakini menjadi sumber primer ajaran agama
lantaran dari keduanya diktum-diktum hukum Islam dikreasi dan dibentuk
sesuai mekanisme istinbath sebagaimana dijabarkan dalam ilmu
ushul fiqh. Al-Qur’an tak lain adalah serangkaian firman Allah SWT yang
ditransmisi kepada ummat manusia melalui seorang utusannya, Muhammad
SAW. Selain dapat dibaca dan berimplikasi reward (pahala) bagi yang membacanya, al-Qur’an juga menjadi guid-line
atau panduan kesehariaan bagi kehidupan ummat manusia. Sebagai sumber
primer ajaran agama, al-Qur’an dapat menyelesaikan aneka persoalan
ummat manusia baik menyangkut kemasyarakatan, perekonomian, politik dan
aspek kehidupan yang lain. Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar umum
penyelesaian segala persoalan sehingga ia mampu bertahan dalam segala
bentuk rupa perubahan serta tidak lekang dengan waktu.
Sebagai wahyu verbal yang memuat banyak
aturan secara global, al-Qur’an memerlukan penjelasan al-Hadits sebagai
bentuk wahyu yang lain. Jika al-Qur’an merupakan firman Tuhan maka
al-Hadits adalah sabda nabi yang banyak memberikan penjabaran terhadap
kemujmalan al-Qur’an. Hubungan simbiotik al-Qur’an dan
al-Hadits tidak dapat dipasung oleh pemahaman bahwa yang tersebut kedua
bersifat inferior dibanding yang pertama. Sebaliknya, baik al-Qur’an
maupun al-Hadits mempunyai perannya sendiri dalam membentuk
diktum-diktum hukum sebagai aturan operasional. Bahkan, dalam batas
tertentu, kebutuhan al-Qur’an terhadap al-Hadits terkesan lebih dominan
ketimbang ketergantungan al-Hadits kepeda al-Qur’an.
Dari sudut kedatangannya sebagai wahyu,
al-Qur’an memang dalam posisi superior di atas al-Hadits. Sebab, jika
yang mencapai derajat qath’i (qath’iy al-wurud) dari al-Hadits terbatas pada hadits-hadits mutawatir maka dalam al-Qur’an seluruh ayatnya dapat dikatakan mencapai tingkatan qath’i.
Akan tetapi dari sudut indikasi hukumnya, al-Qur’an dan al-Hadits
mempunyai derajat sebangun lantaran sama-sama diukur dari aspak dalalah
atau penunjukan hukumnya. Dalam kaitan ini, al-Hadits sebagai penjabar
dan penjelas terhadap al-Qur’an sering mempunyai tingkat kepastian
hukum yang lebih besar. Sebab dalam memberikan penjabaran seringkali
teks al-Hadits membatasi keumuman dan kemutlakan al-Qur’an (takhshis al-‘am wa taqyid al-muthlaq). Dalam kondisi seperti ini, lafadz yang kushus (khash) dan lafadz yang terikat dengan batasan tertentu (muqayyad) relatif lebih mempunyai tingkat kepastian hukum lebih tinggi ketimbang lafadz ‘am dan lafadz muthlaq yang masih perlu dibatasi cakupan dan ruang lingkupnya.
Hubungan simbiotik al-Qur’an dan
al-Hadits pada kenyataannya tidak dapat membendung adanya hierarki di
antara keduanya. Sudah menjadi ungkapan umum di kalangan para Juris
Islam bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama sedangkan
al-Hadits adalah sumber rujukan kedua. Urutan seperti ini paling tidak
dibuat untuk keperluan rujukan sumber-sumber hukum dalam aktivitas istinbath. Sebelum merujuk pada sumber hukum kedua, tentunya para Mujtahid merefer
terlebih dahulu pada sumber hukum pertama. Begitu pula setelah merujuk
pada kedua sumber primer ini, mereka perlu mempertimbangkan mekanisme istidlal dengan memperhatikan sumber-sumber hukum lain seperti qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan lain-lain.
Terminologi al-Qur’an dan al-Hadits
Tidak seperti kitab suci lainnya
–Taurat dan Injil misalnya— yang turun sekaligus kepada Nabi Musa dan
Isa as, al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril as
secara bertahap sesuai konteks realitas masyarakat Arab waktu itu.
Bahkan tidak jarang al-Qur’an turun dalam bentuk jawaban atas
pertanyaan masyarakat Arab menyangkut persoalan tertentu. Karenanya,
sering kita temukan dalam lembaran al-Qur’an ungkapan يسألونك عن……
(mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang……) atau يستفتونك في…..
(mereka minta fatwa padamu Muhammad soal…….), lalu teks al-Qur’an
melanjutkan dengan jabaran dan penjelasan menyangkut prsoalan yang
sedang ditanyakan masyarakat tersebut.
Dalam terminologi ilmu al-Qur’an (ulum al-Qur’an)
kumpulan teks al-Qur’an identik dengan beberapa sebutan, yaitu:
al-Qur’an (QS al-Qiyamah: 17 dan QS al-Isra’: 9); al-kitab (QS
al-Anbiya’: 10); al-furqan (QS al-Furqan: 1); al-nur (QS al-Nisa’:
174); al-dzikr (QS al-Hijr: 9); dan al-tanzil (QS al-Syu’ara’: 192).
Selain itu, kumpulan teks al-Qur’an juga sering disebut mushhaf
(sebendel kertas yang berisikan tulisan). Bisa disebut al-Mushhaf karena ia ditulis dalam naskah tertentu dengan nama dan sebutan tertentu juga. Konon, penyebutan mushhaf
ini mula-mula dilakukan sahabat Abu Bakar al-Shiddiq setelah berunding
dengan para sahabat yang lain. Abu Bakar memberi nama mushhaf setelah
rampung melakukan pengumpulan lembaran-lembaran al-Qur’an yang
sebelumnya tercerai berai di berbagai sudut tempat menjadi satu
manuskrip tertentu.
Sumber : http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar