Sabda Rasululullah SAW, “Akan datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek perdagangan” (HR Ibnu Bathah, dari Al ‘Auzai).
Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada
yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank.
Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya. Ini
dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan
Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi
yang masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha
agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun
karena umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak
mampu membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya,
maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung,
diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran.
Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah
Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah
abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah
ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi
Muhammad saw. Tentang hal tersebut, Al Qur’an telah mengabarkan tentang
tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam
dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba.
Firman Allah SWT:
“….disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami
telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka
memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya,
dan mereka memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan uang
sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah
menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih” (QS An Nisaa’ : 160-161).
Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu
berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak
melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi, berusaha
mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja
yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual
antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir, menghalalkan
riba sehingga terkenalah dari dahulu sampai sekarang bahwa antara
Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya
antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat
mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:
“Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu
kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu
menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras, dan
janganlah mengambil bunga daripadanya” (Keluaran, 22:25).
Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada.
Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil
riba dari kalangan kaumnya sendiri:
“Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya
gemetar besertamu ….., maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga
dan laba yang terlalu (besar)…… jangan kamu memberikan uangmu kepadanya
dengan memakai bunga …..” (Imamat 35-37).
Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi telah
dilarang memakan riba (bunga). Namun dalam kenyataannya, mereka
membangkang dan mengabaikan larangan tersebut. Mengapa mereka demikian
berani melanggar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal ini, Buya Hamka
(alm) mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20 :
“Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhan Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu”.
“Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhan Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu”.
Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa
ayat tersebut telah menjadi pegangan kaum Yahudi sedunia sampai
sekarang. Mereka, biarpun tidak duduk pada kursi pemerintahan di suatu
negeri, tetapi merekalah yang justru menguasai pemerintahan negeri
tersebut melalui bentuk pinjaman ribawi (membungakan uangnya) yang
menjerat leher.
Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional
Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi
jahat Yahudi, disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang
ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit
(pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin
terasa sakit. Mereka katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah
dilakukan boleh dikatakan laksana seonggok benalu yang mencerap habis
segenap potensi perekonomian negara tersebut.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) terbesar di dunia. Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) terbesar di dunia. Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang.
Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang
umumnya dibutuhkan oleh orang banyak), perdagangan internasional (dalam
bentuk perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di seluruh
Amerika, Eropa dan negeri-negeri di Asia dan Afrika. Sebagai misal, di
Amerika, orang-orang Yahudi menguasai perusahaan General Electric,
Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam perdagangan valuta
asing, maka setiap 10 orang broker, sembilan di antaranya adalah
orang-orang yahudi.
Di Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang
kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di
suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil;
misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius.
Umat Islam Indonesia dan Perbankan
Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan
penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri
jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu
kepada sistem perbankan (riba). Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu
Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendirinya Raden Bei
Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas di
berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut
(1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899).
Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan
Sentral Kas, tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat keuangan. Dari
kalangan intelektual, didirikanlah Indonesische Studie Club di
Surabaya tahun 1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba,
mendirikan Algemene Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934.
Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari
Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang
menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi
pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah
Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya
Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin
bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank
Bumi Daya (BBD, 19 Agustus 1959). Bank Pembangunan Industri (BPI,
1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import
Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960.
Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh
seperti jamur di musim hujan.
Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh
bank-bank yang menjadi Badan Usaha Milik Negara/BUMN (misalnya BNI
1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama,
jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke
dalam tiga kategori; yaitu swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susila
Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta merger bank luar
(misalnya Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya
Chase Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of America). Untuk
melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun
sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut
standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri
ini masih memerlukan 7800 bank lagi.
Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan
Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat langsung.
Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun
sejak diadakan penandatangan kerja sama antara Bank Summa dengan
Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indonesia
telah mulai dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam
perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan
sebanyak 2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia.
Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini
memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah
dengan bunga 2,25% per bulan, untuk pengusaha /pedagang kecil, petani,
dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta
rupiah.
Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru
lagi. Ide itu telah ada dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai
kesempatan kongres besar NU. Pada awalnya NU mengharamkannya; kemudian
memberikan alternatif fatwa yaitu haram, halal dan subhat; dan terakhir
tanggal 22 Juli 1990, NU melalui Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah
menghalalkannya.
Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo
(sebagai PB Muhammadiyah). Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa
tersebut diputuskan melalui perdebatan para ulama yang dikenal telah
mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui
KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau,
keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para ulama yang
memahami hukum Islam.
Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan
ulama dan intelektual Muslim. Dari kubu yang tidak setuju, muncullah
pernyataan dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly. Ia
berkata bahwa bank yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seharusnya
bank yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan
riba. Beliau menandaskan bahwa sampai sekarang belumlah ada bank yang
bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa heran mengapa sistem muamalah
yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh
dan salam itu tidak dihidupkan. “Akibatnya, umat Islam terjerat ke
dalam sistem bank yang mengandung riba”, celanya.
Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas
fatwa ini. Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa
fatwa tersebut tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka. Sebab,
menurut mereka, NU seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah
(berdagang bersama yang saling menguntungkan), bukan bank umum yang
lebih cenderung menganut sistem rente.
Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis
di negeri ini? Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara’?
Dapatkah pendapat mereka diterima? Lebih jauh dari itu, apakah mereka
boleh disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid?
Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis
Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik
permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank. Sebab,
secara umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari
perdagangan kredit. Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan
memungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar
dari besarnya kredit). Selisih pembayaran yang biasanya disebut bunga,
itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.
Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai
pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka. Ada
segolongan dari mereka yang mengharamkannya karena bunga bank tersebut
dipandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah
Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa
segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomian
sekarang ini adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad
Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas
Cairo yang memandang bahwa riba Nasi’ah sudah jelas keharamannya dalam
Al Qur-aan. Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem
perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia.
Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak
mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka mena’wilkan dan membahas makna
riba. Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang
dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan
lagi tentang keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan
batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan
lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau
tambahan 10%, dan sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba
juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa meminjam
uang dari bank dengan rente sekian adalah riba. (Dengan demikian)
menyimpan dengan bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga.
Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahwa bunga bank yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahwa bunga bank yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Drs. Syarbini Harahap berpendapat bahwa bunga konsumtif yang
dipungut oleh bank tidaklah sama dengan riba. Karena, menurutnya, di
sana tidak terdapat unsur penganiayaan. Adapun jika bunga konsumtif itu
dipungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang sebagai riba.
Sebab, praktek tersebut memberikan kemungkinan adanya penganiayaan dan
unsur pemerasan antarsesama warga masyarakat, mengingat bahwa lintah
darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun jika
bunga tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan
yang produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam
teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah
salah dan tidak ada keharaman padanya.
Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya,
ternyata sama nadanya dengan apa yang difatwakan NU via Abdurrahman
wahid, atau lewat pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta,
Kasman Singodimejo, dan lain-lain.
Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan
perdagangan dengan uang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan
bahwa kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan
(tijarah), maka hal tersebut dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya
berlipat ganda dan diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme
perdagangan yang dihalalkan.
Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya
menghalalkan riba dalam bentuk bunga bank telah melibatkan jutaan kaum
Muslimin ke dalam kegiatan perbankan. Walaupun demikian masih terdapat
jutaan lainnya yang membenci praktek dan menjauhi dari memakan harta
riba. Kebencian mereka terhadap praktek riba tersebut sama halnya
dengan kebencian mereka memakan daging babi. Oleh karena itu masih
banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mau meminjam dan menyimpan
uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum
Muslimin tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan kegiatan
perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap
hukum yang sebenarnya tentang riba (bunga) bank. Itulah fakta tentang
keadaan umat Islam setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian
mereka terhadap riba (bunga) bank.
Bolehkah Kita Menghalalkan Riba ?
Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba
adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan
harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek
sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah
Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali
lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW
bersabda :
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba
lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam
(setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).
Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat
Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang
keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah : 279).
Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda,
akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu
ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun
nuzulnya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur’an. Dalam rangkaian
ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar,
berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat.
Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut,
Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di
antaranya riba (bunga) bank:
“Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba; padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan telah
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan
tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (sebelum
datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi
orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang-orang
tersebut adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah : 275).
Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:
“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.
“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.
Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:
“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi”.
“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi”.
Apa sesungguhnya riba itu? Secara global dapatlah disebutkan bahwa definisi riba adalah:
“Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu
pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materi/barang, dan atau waktu,
tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut”.
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda
namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam
menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui
penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui
bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan
perdagangan (bisnis), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan
ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahwa riba pada masa
yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi
berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan keuangan yang akhirnya
akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah saw:
“Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling
ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang
menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).
Juga sabda Rasulullah saw:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada
seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa
saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu
(riba)nya” (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).
Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqa’rah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun tersembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif.
Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqa’rah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun tersembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif.
Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh
dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:
Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat dalil (syar’iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya)”.
Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang
menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis riba (misalnya riba
produktif), dan atau hanya mengharamkan sebagian yang lainnya (misalnya
riba yang berlipat ganda, konsumtif, riba lintah darat). Dengan
demikian, telah jelas bagi kita bahwa semua bentuk dan jenis riba
adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh karena itu, atas
dasar apa para intelektual dan ulama modernis sampai berani
menghalalkan riba bunga bank? Mereka telah berani membeda-bedakan
halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah
SWT dan Rasul-Nya tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba.
Tidak ada satupun illat (sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman
riba. Apakah kaum intelektual dan ulama modernis ingin mengubah hukum
Allah SWT dari haram menjadi halal hanya karena faktor kemaslahatan,
semisal untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan; atau karena pada masa
sekarang kegiatan perbankan yang berlandaskan kepada aktivitas riba
sudah merajalela dalam masyarakat kaum Muslimin?
Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT:
“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti)”(HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132).
“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti)”(HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132).
Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan ulama
modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi
syarat bagi orang yang berwenang untuk berijtihad serta tidak layak
disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak
mengeluarkan fatwa, apalagi untuk mengubah hukum Allah SWT dan
Rasul-Nya !
Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak
berlandaskan kepada syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib
dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu.
Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun. Ia harus tunduk
kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati
intelektual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama
artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang
pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada ‘Adiy bin Hatim, ketika
beliau menyampaikan firman Allah SWT:
“Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai
Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra
Mariyam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu: Tiada
Tuhan kecuali Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan”
(QS At Taubah : 31).
Kemudian Adiy bin Hatim berkata :
“Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu”. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka” (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari ‘Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349).
“Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu”. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka” (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari ‘Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349).
Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai
Tuhan sesembahan yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu
perbuatan?
Ya Allah, kami telah sampaikan. Saksikanlah ! [Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM]
Ya Allah, kami telah sampaikan. Saksikanlah ! [Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar