Diriwayatkan oleh Al-Hakim At-Tirmudziy tentang penjelasan hadits ini : “Ahlulbaitku keselamatan bagi umatku”,
bahwa ahlulbait Rasulullah s.a.w. yang dimaksud dalam hadits tersebut
ialah ‘orang-orang yang meneruskan/mengikuti jalan hidup Rasulullah
s.a.w. setelah beliau wafat. Mereka adalah orang-orang shiddiq,
orang-orang abdal (keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin
Abi Thalib r.a dengan ucapannya:
إن الْأَبْدَالُ يَكُونُونَ بِالشَّامِ وَهُمْ أَرْبَعُونَ رَجُلا كُلَّمَا مَاتَ رَجُلٌ أَبْدَلَ اللَّهُ مَكَانَهُ رَجُلا , بهم يُسْقَى الْغَيْثُ وَيُنَْصَرُ بِهِمْ عَلَى الأعْدَاءِ , وَيُصْرَفُ عَنْ أَهْلِ الأرض بِهِمْ البلاء
“Akan muncul orang-orang keramat di
Syam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka
wafat, Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Kerana
kekeramatan mereka Allah menurunkan hujan, kerana kekeramatan mereka
Allah memenangkan mereka atas musuh-musuhnya, dan kerana kekeramatan
mereka Allah menyelamatkan penghuni bumi dari malapetaka…”
Kata Tirmudziy lebih lanjut; Mereka
itulah ahlulbait Rasulullah yang menjadi sebab keselamatan ummat ini.
Bila mereka itu lenyap, rusaklah bumi dan hancurlah dunia…
Seterusnya ia mengatakan: Pertama, pengertian mengenai ahlulbait tidak bisa didasarkan pada makna hadits yang berbunyi:
“Manakala ahlulbaitku lenyap maka datanglah kepada ummatku apa (bencana) yang dijanjikan“.
Bagaimana dapat dibayangkan kalau
ahlulbait sudah tidak ada lagi tak akan ada seorang pun ummat Muhammad
s.a.w. yang masih tinggal? Jumlah ummat Muhammad s.a.w. jauh lebih
banyak daripada yang dapat dihitung, dan Allah s.w.t. senantiasa
melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai
ahlulbait juga tidak dapat didasarkan pada hadits yang berbunyi:
“Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku“.
Kedua, menurut hadits
tersebut, ahlulbait Rasulullah s.a.w. ialah nasab beliau, yakni Bani
Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib. Akan tetapi mereka bukan merupakan
sebab bagi keselamatan ummat Islam, sehingga orang boleh berkata: Kalau
mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini!
Ketiga, di kalangan mereka
pula terdapat keburukan (fasad) seperti yang terdapat di dalam golongan
lain. Di antara mereka ada yang baik (muhsin) dan ada pula yang buruk
(musi’). Lantas bagaimana dapat dikatakan bahawa mereka itu merupakan
sebab bagi keselamatan penghuni di bumi? Jadi jelaslah, bahawa yang
dimaksud oleh Rasulullah s.a.w. ialah ‘orang-orang yang kerana mereka
itu dunia ini tetap lestari”. Mereka itulah lambing kehidupan dan para
pembimbing manusia ke jalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak
ada kehormatan apa pun di muka bumi dan bencana akan merajalela…
Tirmudziy melanjutkan: Kalau ada yang
mengatakan bahawa kemuliaan ahlulbait dan dekatnya hubungan mereka
dengan Rasulullah s.a.w., itu yang membuat mereka menjadi sebab
keselamatan bagi penghuni bumi, orang lain tentu dapat menjawap:
Kehormatan dan kemuliaan Rasulullah s.a.w. jauh lebih agung! Di bumi
ini ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung dibanding dengan
keturunan Rasulullah s.a.w., iaitu Kitabullah Al-Qur’an, walau tidak
disebut dalam hadits di atas tadi. Selain itu kehormatan dan kemuliaan
ada juga pada para ahli takwa…
Dalam penjelasannya mengenai
sebab-sebab yang membuat Muhammad s.a.w. menjadi manusia besar, mulia
dan agung, Tirmudziy mengatakan: Kehormatan, kebesaran dan keagungan
Rasulullah s.a.w. adalah berkat kanabian dan kemuliaan yang dilimpahkan
Allah s.w.t. kepada beliau. Sebagai dalil mengenai hal itu dapat
dikemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai
berikut:
“Pada suatu hari Rasulullah s.a.w.
mendatangi Siti Fatimah. Di tempat kediaman Siti Fatimah terdapat
Shafiyyah, bibi Rasulullah s.a.w. Beliau kemudian berkata: Hai Bani
Abdu’ Manaf, Hai Bani Abdul Mutthalib, Hai Fatimah binti Muhammad, Hai
Shafiyyah bibi Rasul Allah. Di hadirat Allah aku tidak bermanfaat bagi
kalian. Mintalah berapa saja dari hartaku yang kalian inginkan.
Ketahuilah, bahawa orang yang terbaik bagiku pada hari kiamat ialah
mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya mengandalkan kekerabatan kalian
denganku, di saat orang lain datang kepadaku membawa amal kebajikan
lalu kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan di leher kalian.
Kemudian memanggil-manggil Hai Muhammad, aku menjawap dengan
memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi ‘Hai Muhammad‘. Aku pun menjawap begitu lagi. Kemudian kalian berkata: “Hai Muhammad! Aku ini si Fulan bin Fulan“. Aku akan menjawap: “Tentang
nasab kalian aku memang kenal, tetapi tentang amal kebajikan kalian aku
tidak tahu. Kalian telah meninggalkan kitabullah, kerana itu kalian
kembali kepada kekerabatan (yang kalian andalkan) antara aku dan kalian“.
Diriwayatkan pula bahawa saat itu Rasul Allah s.a.w. menegaskan:
“Di antara kalian, orang-orang yang
memperoleh perlindunganku bukanlah mereka yang berkata: ‘ayahku si
fulan’, tetapi di antara kalian yang memperoleh perlindunganku ialah
mereka yang bertakwa, sesiapapun mereka itu dan bagaimana pun keadaan
mereka“.
Yang kami utarakan di atas semuanya
adalah pernyataan Imam Tirmudziy dan dalil-dalilnya mengenai
pendapatnya tentang ahlulbait Rasul Allah s.w.t. sebagai sebab
keselamatan ummat beliau.
Pendapat dan penafsiran Imam Tirmudziy
terhadap hadits Nabi yang kami sebut pada permulaan Bab ini, khususnya
mengenai pengertian ‘ahlulbait Rasulullah s.a.w.’ tertanya memperoleh
tanggapan dari ulama yang lain. Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam
kitabnya yang berjudul ‘Asjsjaraful Muabbad li Aal Muhammad’ menanggapi
uraian Imam Tirmudziy sebagai berikut:
Sementara jama’ah ahli hadits
meriwayatkan sebuah hadits yang diberitakan oleh banyak sahabat Nabi
s.a.w., bahawasanya Rasulullah bersabda:
“Ahlulbaitku di tengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barangsiapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka… (Sumber riwayat lain mengatakan:’…ia tenggelam’, dan sumber yang lainnya lagi mengatakan:’…ia di giring ke neraka)”.
Abu Dzar Al-Ghifariy mengatakan: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Jadikanlah ahlulbaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh dan seperti kedudukan dua mata bagi kepala“.
Imam Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits yang dibenarkan oleh Bukhariy dan Muslim sebagai berikut:
“Bintang-bintang adalah keselamatan
bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (di dasar laut) dan
ahlulbaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila
ada kabilah Arab yang membelakangi ahlulbaitku mereka akan berselisih
kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis“.
Hadits yang lain lagi dikemukakan juga oleh jama’ah ahli hadits, iaitu bahawanya Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
“Bintang-bintang adalah keselamatan
bagi penghuni langit dan ahlulbaitku adalah keselamatan bagi ummatku.
(Menurut sumber riwayat lain: ‘Keselamatan bagi penghuni bumi’).
Manakala ahlulbaitku lenyap (binasa) maka yang dijanjikan dalam
ayat-ayat Al-Qur’an akan tiba (iaitu bencana)“.
Hadits seperti itu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal berbunyi sebagai berikut:
“Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit; dan apabila ahlulbaitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi“.
Setelah mengemukakan hadits-hadits
tersebut di atas An-Nabhaniy kemudian mengatakan: “Bagaimanapun juga
ahlulbait Rasulullah dan keturunan beliau s.a.w. di permukaan bumi ini
merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan ummat manusia, dan pada
khususnya merupakan syarat keselamatan ummat Muhammad s.a.w. dari azab
neraka. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan khusus hanya anggota
keluarga yang saleh saja. Sebab ciri kemuliaan yang ada pada unsur
keturunan beliau s.a.w. sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat
mereka”.
Sebagai dalil mengenai itu An-Nabhaniy
menunjuk kepada penyataan Ash-Shabban di dalam kitab ‘Is’afur-Raghibin’
yang mengatakan, bahawa pengertian tersebut di atas diperoleh dari
isyarat yang terkandung dalam ayat 33 surah Al-Anfal:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyeksa mereka (orang-orang derhaka) sedang engkau berada di tengah-tengah mereka“.
Sekalipun ayat tersebut ditujukan
kepada Rasulullah s.a.w., namun ahlulbait dan keturunan beliau dapat
didudukkan pada tempat beliau, kerana mereka itu berasal dari beliau
dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka (keluarga beliau,
yakni Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib), sebagaimana yang
diriwayatkan oleh beberapa hadits. Demikian Ash-Shabban.
An-Nabhaniy kemudian mengetengah sebuah hadits Rasulullah s.a.w. yang menegaskan sebagai berikut:
“Orang-orang pertama yang mengalami
bencana adalah Qureisy, dan orang-orang Qureisy yang pertama mengalami
bencana adalah ahlulbaitku… (riwayat lain mengatakan bukan “bencana”
[halak], melainkan ‘kepunahan’ [fana]. Dan bukan pula ‘ahlulbaitku’,
melainkan ‘Bani Hasyim’)“.
Para ahli syarah ilmu hadits, termasuk Al-Manawiy dan lain-lain menjelaskan makna hadits tersebut seperti di bawah ini:
“Bencana yang menimpa mereka merupakan
petanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan terjadi
akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga
keturunan Rasulullah s.a.w. adalah orang-orang baik”.
Menanggapi penjelasan Al-Manawiy
tersebut, An-Nabhaniy mengatakan: “Rasanya penjelasan Al-Manawiy itu
dapat dijadikan tafsir bagi hadits tersebut di atas, bahkan lebih baik
daripada penafsiran kami. Dengan demikian maka teranglah bahawa
penafsiran Tirmudziy tidak dapat diterima, iaitu penafsiran yang
mengertikan “Zurriyyatu Rasulullah s.a.w.” dengan “abdal” (orang-orang
keramat) sebagaimana yang terdapat di dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib
r.a.
Sebagai reaksi terhadap pernyataan Imam
Tirmudziy yang mengatakan: “Bagaimana bisa dibayangkan bahawa dengan
lenyapnya ahlulbait dari muka bumi ini maka tak akan ada lagi seorang
pun dari ummat Muhammad s.a.w. yang tinggal? Padahal jumlah ummat
Muhammad s.a.w. jauh lebih banyak daripada yang dapat dihitung, dan
Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya?”…
An-Nabhaniy berkata: “Tidak ada halangan dan tidak ada salahnya jika
orang membayangkan hal sedemikian itu. Lebih-lebih kerana Rasulullah
s.a.w. sendiri telah menegaskan: Orang-orang pertama yang mengalami
bencana adalah Qureisy, dan orang-orang Qureisy yang pertama mengalami
bencana adalah ahlulbaitku.
Hadits itu merupakan salah satu
petunjuk tentang rahmat yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada keluarga
dan keturunan Rasulullah s.a.w. Demikian An-Nabhaniy.
Menanggapi penafsiran Imam Tirmudziy
yang mengutip sabda Rasulullah s.a.w. “Semua sebab dan nasab akan
terputus kecuali sebab dan nasabku”, An-Nabhaniy mengatakan sebagai
berikut: “kata ‘putus’ tidak bermakna ‘kepunahan’ atau ‘kebiasaan’
keturunan Rasulullah s.a.w. Itu hanya dikhususkan pada saat terjadinya
hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shahih.
Kata ‘putus’ juga bermakna ‘nasab (silsilah) tidak bermanfaat’,
sebagaimana ditegaskan Allah s.w.t. dalam firman-Nya:
“Maka tiada lagi hubungan nasab di antara mereka pada hari itu“. [Al-Mu'minun: 101]
Hanya Rasulullah s.a.w. sajalah yang
memperoleh pengecualian dalam hal nasab – melalui pernikahan dan dalam
hal nasab – melalui keturunan – Bagi beliau s.a.w. kemanfaatan sebab
dan nasab tetap berkesinambungan, baik di dunia mahupun di akhirat. Hal
itu diperkuat oleh sabda Rasulullah s.a.w. yang diucapkan dari atas
mimbar:
“Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahawa kekerabatan Rasulullah s.a.w. tidak bermanfaat pada hari kiamat? Ya…, kekerabatanku berkesinambungan di dunia dan akhirat“.
Terhadap uraian Imam Tirmudziy yang
mengatakan, bahawa ‘Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib bukan
merupakan syarat bagi keselamatan ummat Muhammad s.a.w. dan bukan pula
merupakan syarat bagi keselamatan ummat Muhammad s.a.w. dan bukan pula
merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia bila
mereka lenyap”, An-Nabhaniy menjawap sebagai berikut: “Yang diertikan
mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini, bahkan penghuni bumi ini,
ialah bahawa dengan masih adanya mereka di dunia bererti saat kepunahan
dunia ini belum tiba. Bila mereka telah punah, maka penghuni bumi ini
akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an
tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini”,
Mengenai uraian Imam Tirmudziy yang
mengatakan:..” di antara mereka (zuriyyatu Rasulullah s.a.w.) juga
terdapat kerosakan (fasad) seperti yang terdapat di dalam
golongan-golongan lain yang bukan dari unsur mereka, yakni ada yang
berlaku baik dan ada pula yang berlaku buruk. Jadi, bagaimana dapat
dikatakan bahawa mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini dan
penghuni bumi”?… An-Nabhaniy menjawap:
“Mereka menjadi syarat bagi keselamatan
ummat ini dan penghuni bumi ini bukan kerana amal kebajikan mereka,
melainkan kerana mereka itu adalah unsur suci kenabian; suatu anugerah
yang dikhususkan Allah bagi mereka sejak azal. Mereka dianugerahi
keistimewaan itu ialah rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka
sebagai anggota-anggota ahlulbait Rasulullah s.a.w. Di tengah-tengah
mereka Allah s.w.t. menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu
mereka tidak mungkin dapat disamai orang lain”.
Mengenai uraian Imam Tirmudziy yang
mengatakan “Di bumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan
Rasulullah s.a.w., iaitu Al-Qur’an, sekalipun hal itu tidak disebut
dalam hadits yang bersangkutan”, An-Nabhaniy menjawap sebagai berikut:
“Tidak ada keharusan bagi Rasulullah
s.a.w. untuk menyebut kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama
dengan kemuliaan Al-Qur’an di dalam sebuah hadits, walaupun jelas
bahawa kemuliaan Kitabullah Al-Qur’an jauh lebih besar daripada
kemuliaan keturunan Rasulullah s.a.w. Kendatipun bukan merupakan
keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu di dalam hadits
Tsaqalain. Lagi pula di antara ahlulbait Rasulullah tak ada seorang pun
yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah, dan
mereka pun tidak beranggapan bahawa kemuliaan Kitabullah itu disebabkan
adanya keistimewaan yang ada pada diri mereka…
“Kitabullah menjelang hari kiamat pun
akan diangkat. Ibnul Mas’ud r.a mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an sebelum
diangkat! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Qur’an diangkat”!
Seorang sahabat bertanya: “Hai Abu Abdurrahman (nama panggilan Ibnu
Mas’ud), bagaimanakah erti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah
menetap di dalam dada dan di lembaran-lembaran mushaf kita”? Ibnu
Mas’ud menjawap: “Kitabullah memang tetap di dalam dada, tetapi tidak
diingat dan dibaca orang”!
Tidak diragukan lagi bahawa Ibnu Mas’ud
tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, kerana persoalan itu berada
di luar pemikiran orang. Dari keterangannya itu jelaslah bahawa
Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan ummat manusia. Selama
Kitabullah masih berada di tengah-tengah ummat manusia, dunia ini tidak
akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulullah s.a.w. tidak
boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan”.
Mengenai penegasan Imam Tirmudziy,
bahawa ‘kemuliaan hanya ada pada para ahli takwa’ berdasarkan dalil
sebuah hadits yang meriwayatkan kedatangan Rasulullah s.a.w. di
kediaman Siti Fatimah r.a di saat Shafiyyah (bibi beliau) berada di
tempat itu, kemudian Rasulullah s.a.w. berkata: “Hai Bani Abdul Manaf,
hai Bani Abdul Mutthalib, hai Fatimah binti Muhammad, hai Syafiyyah…”
dan seterusnya (Silakan baca hadits terdahulu); mengenai uraian
Tirmudziy yang demikian itu, An-Nabhaniy memberi tanggapannya sebagai
berikut:
“Mengenai soal itu Al-Muhib
At-Thabraniy telah memberikan jawapan meyakinkan, yang kemudian dikutip
oleh Al-Manawiy dalam kitab ‘Al-Kabir’ dan oleh Ash-Shabban dalam kitab
‘Is’afur-Raghibin’. Jawapan tersebut mengatakan: benarlah bahawa
Rasulullah s.a.w. tidak mempunyai apa-apa yang mendatangkan manfaat
bagi orang lain, hanya Allah sajalah yang memiliki hai itu. Namun,
dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum
kerabatnya, bahkan bagi semua ummatnya, berupa syafaat khusus dan umum.
Beliau s.a.w. tidak mempunyai suatu apa pun selain yang dikurniakan
Allah kepadanya, iaitu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadits
Al-Bukhariy mengenai sabda beliau:
“Kalian – yang pria mahupun yang wanita – mempunyai hubungan silaturrahmi (denganku). Yang akan kusambung hubungannya…”
“Demikian pula makna ucapan Rasulullah s.a.w.:
“Di hadhirat Allah aku tidak berguna apa pun bagi kalian“.
Maknanya ialah: “Kalau hanya diriku
sendiri tanpa anugerah syafaat dan ampunan yang dilimpahkan Allah
kepadaku, aku tidak dapat memberikan manfaat apa pun kepada kalian”.
Rasulullah s.a.w. menyatakan demikian itu untuk memperingatkan mereka
agar banyak-banyak berbuat kebajikan, dan agar mereka memperoleh rahmat
Allah kerana kebesaran takwanya masing-masing.
‘Ash-Shabban mengatakan: Konon hadits
tersebut di atas diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. sebelum beliau
diberitahu Allah mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau. Akan
tetapi tampaknya bahasa Arab kurang membantu At-Tirmudziy dalam
menafsirkan hadits-hadits tentang ‘ahlulbait’. Adakah orang yang
mengertikan kata ‘ahlulbait’ dengan ‘orang-orang keramat’ (abdal)? Demi
Allah, tidak ada! Tidak ada seorang pun yang mendengar kata ‘ahlulbait’
dari Rasulullah s.a.w. lalu ia memahaminya dengan makna selain
ahlulbait yang bernasab kepada beliau. Memang hanya itu sajalah makna
‘ahlulbaitku’ dalam bahasa Arab, bahasa beliau s.a.w. sendiri!…
‘Mengenai orang-orang keramat,
kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka
dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya; tak ada seorang
Muslim pun yang meragukannya. Namun orang-orang keramat itu sendiri
tentu merasa tidak senang jika diberi ‘perhiasan’ yang dicabutkan dari
keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, iaitu
Rasulullah s.a.w.…’
“Saya yakin – demikian kata Ash-Shabban
lebih jauh – bahawa Imam Al-Hakim At-Tirmudziy sendiri termasuk salah
seorang keramat terkemuka. Kerana itu saya berani memastikan bahawa
uraian yang ditulis dalam kitabnya itu mengandungi salah satu dari dua
kemungkinan:
Pertama – dan ini yang paling besar
kemungkinannya: Tulisan tersebut dipalsukan oleh orang yang dengki
kepadanya dan kepada ahlulbait Rasulullah s.a.w. Hal seperti itu sering
dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh
Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al-Arabiy, Syeikh Abdulwahhab Asy-Sya’raniy
dan lain-lain…
Kedua: Imam Tirmudziy pernah bergaul
dekat dengan orang-orang ekstrim Syi’ah yang terlampau berlebih-lebihan
dalam mengagung-agungkan ahlulbait Rasulullah s.a.w. sehingga mereka
sesat kerana tidak mahu mempercayai kejujuran para sahabat Nabi,
terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a dan Umar Ibnul-Khatthab r.a. Dengan
uraiannya itu mungkin Tirmudziy hendak mengecam mereka, dan itu tampak
jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu
dituangkan olehnya dalam uraian mengenai ‘ahlulbait’, tetapi bersamaan
dengan itu ia tetap mencintai Ahlulbait dan memberikan penilaian yang
baik serta tetap mengakui kemuliaan dan keistimewaan mereka…’ Demikian
Ash-Shabban.
Oleh Erwin Alfaqir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar